Sunday, November 12, 2006

Masih Ada Praktik Persulit Tionghoa Buat Akte Lahir

Pontianak,- Masih adanya praktik mempersulit warga Tionghoa ketika membuat akte kelahiran sangat disesalkan Michael Yan Sriwidodo. Anggota DPRD Provinsi Kalbar tersebut masih menerima laporan mengenai adanya praktik-praktik itu."Jika masih ada pihak Catatan Sipil memberlakukan praktik-praktik lama, tentu kita sangat sesalkan," ujar Michael ketika ditemui usai menghadiri paripurna Pendapat Akhir (PA) yang berlangsung Selasa, 26 September di Balirungsari Gedung DPRD Provinsi Kalbar. Bahkan secara tegas Michael mengatakan, jika dia memiliki kewenangan untuk melakukannya, maka dia akan mencopot pejabat Catatan Sipil yang masih melakukan itu karena dinilai menghambat.


Legislator asal daerah pemilihan Kota Pontianak tersebut berharap tak ada lagi alasan untuk mempersulit masyarakat Tionghoa, dalam pembuatan akta kelahiran. Apalagi akta kelahiran dikatakan dia merupakan dokumen yang penting bagi negara, pemerintah, hingga masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya pemilik akta tersebut. "Sebetulnya kesadaran masyarakat untuk membuat akta kelahiran sangat membantu kepentingan pemerintah, terutama dalam hal ketertiban data dan administrasi kependudukan," ucapnya.

Dengan argumen tersebut Michael berpandangan, seharusnya menjadi peran aktif pemerintah untuk menciptakan suatu sistem administrasi dan kemudahan bagi masyarakat, agar memperoleh data yang lengkap. Sementara untuk membuat sebuah akte kelahiran dikatakannya, diperlukan waktu serta tempat kelahiran yang jelas, sehingga mestinya diberi kemudahan-kemudahan.

Adanya kemudahan-kemudahan terhadap etnis Tionghoa mesti diberlakukan dengan mengacu Undang-Undang Kewarganegaraan. Pada undang-undang tersebut dikatakan dia, telah sangat jelas adanya pengakuan kewarganegaraan, tanpa membedakan asal suku, etnis, dan agama. "Semua mengacu pada keberadaan orang tua, apabila orang tua mereka telah diakui sebagai orang tua baik dari pihak perempuan maupun laki-laki, semua telah jelas diatur dalam undang-undang," paparnya.

Maka apa yang telah jelas diatur dalam undang-undang, diharapkan Micahel tidak perlu lagi menunggu terbitnya Peraturan Pemerintah (PP). Selama ini, pengakuan terhadap etnis Tionghoa sebagaimana diamanatkan pada UU Kewarganegaraan diungkapkan dia menjadi samar akibat menunggu terbitnya PP. "Kecuali untuk hal-hal yang belum jelas, sementara kriteria mengenai kewarganegaraan telah jelas diatur dalam undang-undang itu," tuntasnya. (ote)

Susahnya Menjadi WNI di Surabaya

Liauw Djai Ming (59) kini tidak pernah pergi jauh dari rumahnya di Jalan Tambaksegaram, Surabaya. Djai Ming takut keluar rumah karena khawatir ada razia kartu tanda penduduk.

Meskipun lahir dan tumbuh besar di Surabaya, Djai Ming tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP) ataupun kartu keluarga. Setelah 57 tahun tinggal di Indonesia, Djai Ming masih dianggap warga negara asing.

Hal sama dirasakan Lim Djai Ling (29). Djai Ling hanya memiliki akta kelahiran dan surat tanda melapor diri (STMD). Padahal, orangtua Djai Ling yang saat ini berusia lebih dari 50 tahun lahir dan besar di Surabaya.

Karena tidak memiliki kartu keluarga dan KTP, lulusan SMEA ini mengalami kesulitan saat melamar pekerjaan. "Akhirnya saya mendapat kerja dengan bantuan teman. Tapi, kalau disuruh atasan ke kantor atau ke bank yang memerlukan KTP jadi tidak bisa," katanya.

Lebih parah lagi, Djai Ling saat ini tidak juga bisa menikah dengan lelaki pilihannya. Petugas catatan sipil menolak berkas yang diajukan Djai Ling dan pasangannya, Hary. Padahal, Hary sudah terdaftar sebagai warga negara Indonesia (WNI).

Saat mengajukan permohonan pembuatan kartu keluarga ke kelurahan maupun ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Surabaya, Djai Ling kembali ditolak. Untuk memproses kartu keluarganya, Djai Ling harus memiliki kartu izin tinggal tetap (kitap). Membuat kitap berarti harus dilakukan di kantor imigrasi.

"Di kantor imigrasi, saya disuruh ke Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM di Jalan Kayun. Di sana saya diberi tahu kalau mau cepat, surat harus dikirimkan ke Jakarta. Sampai sekarang saya masih menunggu jawaban dari Jakarta," tutur Djai Ling.

Untuk setiap kitap yang dibuat, setahu Djai Ling, biayanya berkisar Rp 2 juta. Padahal, saat mengajukan kitap, Djai Ling harus mengajukan kitap untuk tiga orang, yakni ibunya Tan Siu Ke, adiknya Lim Hai Liong, dan Djai ling sendiri. Berarti, Djai Ling harus menyiapkan uang sekitar Rp 6 juta. Padahal, gajinya per bulan tidak mencapai Rp 1 juta. Djai Ling juga masih harus membiayai hidup ibunya.

Ong Giok Bie (48), warga Krembangan Baru, Surabaya, juga tidak memiliki KTP dan kartu keluarga sampai sekarang. Padahal, sejak tahun 1996 Giok Bie sudah mengajukan pengurusan kartu keluarga dan KTP. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil selalu menolak pengajuan Giok Bie dengan alasan tidak ada bukti dan catatan yang menguatkan bahwa Giok Bie adalah WNI.

"Saya malah dimintai ijazah. Lha, saya tidak sekolah. Saya pribumi asli, cuma namanya saja yang China," katanya dengan sedih. Lali, ibu kandung Giok Bie, keturunan Jawa. Petugas catatan sipil juga meminta surat-surat identitas dari orangtua dan delapan saudara Giok Bie lainnya.

Pada 23 Agustus 2006, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Surabaya melalui Kecamatan Krembangan secara tegas menolak permohonan Giok Bie tanpa dasar. Sampai saat ini Giok Bie pun ketakutan untuk keluar rumah.

Djai Ling, Giok Bie, dan Djai Ming hanya tiga contoh warga keturunan Tionghoa yang saat ini kesulitan mendapatkan kartu identitas. Meskipun melengkapi dokumen yang diperlukan, proses pengajuan dokumen selalu dipersulit. Ujung-ujungnya, petugas selalu meminta biaya besar.

Sebaliknya, kemampuan ekonomi ketiga orang tersebut sangat terbatas. Giok Bie hanya berjualan kue di sekitar rumahnya, sedangkan Djai Ling hanya karyawan sebuah perusahaan swasta di daerah Pasar Kembang. Adapun Djai Ming saat ini tidak mempunyai pekerjaan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, warga yang telah tinggal di Indonesia minimal lima tahun berturut-turut dapat mengajukan pewarganegaraan. Persyaratannya hanya sehat jasmani dan rohani, tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana, kewarganegaraan Indonesia tidak menimbulkan kewarganegaraan ganda, mempunyai pekerjaan, dan membayar uang pewarganegaraan ke kas negara. Dalam perundang-undangan itu disebutkan Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tak berlaku lagi.

Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Surabaya Kusnowihardjo mengatakan, berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan Tahun 2006, siapa pun yang lahir di Indonesia mendapat kewarganegaraan Indonesia. "Tapi, undang-undang tidak berlaku surut," katanya.

Secara terpisah, pengajar Fakultas Hukum Universitas Surabaya Prof Dr Eko Sugitario mengatakan, alasan-alasan itu hanya dicari-cari. Untuk mendaftarkan diri sebagai WNI seharusnya tinggal melapor ke Kantor Imigrasi dan pada akta kelahiran ditambahkan catatan 'Berdasarkan keputusan nomor sekian, yang bersangkutan menjadi WNI'.

"Tidak perlu pakai kitap. Itu aturan penjajah yang tidak perlu digunakan lagi," kata Eko.

Pada tingkatan regulasi, menurut aktivis Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD) Akhol Firdaus, masalah diskriminasi sudah teratasi. Kenyataannya, masalah ini sangat dekat dengan urusan komersialisasi. Karena berkaitan dengan uang, bentuk dan jumlah diskriminasi ini sangat beragam.

"Masalah ini menonjol pada keturunan Tionghoa karena sampai saat ini mereka masih dianggap kalangan berkemampuan ekonomi baik. Padahal, nyatanya tidak demikian," kata aktivis JIAD lain, Amin Hasan. Kini, JIAD mendampingi korban-korban diskriminasi yang bergabung dalam Solidaritas Korban Diskriminasi.

Masalah ini seperti gunung es. Tidak hanya tiga orang itu yang sesungguhnya menjadi korban, tetapi banyak pula warga lain yang saat ini belum mendapat pengakuan kewarganegaraan. Terkadang masalah ini hanya diselesaikan melalui lobi-lobi pribadi yang tidak menuntaskan akar permasalahannya.

Dihubungi terpisah, mantan anggota Panitia Khusus RUU Kewarganegaraan Lukman Hakim Saifuddin menyesalkan masih terjadinya kasus tersebut.

"Problem sekarang itu adalah birokrasi. Mereka yang di garis depan ini banyak yang belum paham atau ujung-ujungnya duit," kata Lukman (F-PP, Jawa Tengah VI) ketika dikonfirmasi Kompas.

Menurut Lukman, pelaksanaan UU No 12/2006 tentang Kewarganegaraan memang masih harus dilengkapi dengan peraturan pemerintah dan peraturan menteri. Tapi, pada intinya, semangat dari UU No 12/2006 adalah mempermudah dan melindungi hak-hak warga negara, bukan mempersulit.

Lukman menegaskan bahwa semua orang yang lahir di Indonesia dan tidak pernah menjadi warga negara lain otomatis adalah warga negara Indonesia. Hal itu dapat dibuktikan dengan akta lahir.

"Surat bukti kewarganegaraan RI sudah tidak ada lagi," ungkapnya.

UU Kewarganegaraan pun tidak membedakan kapan akta lahir itu didapatkan, apakah sebelum atau sesudah UU ini disahkan. Karena itu, Djai Ling yang memiliki akta lahir seharusnya dianggap sebagai WNI.

"Semangat UU Kewarganegaraan yang baru adalah mempermudah dan memberi perlindungan, bukan mempersulit," kata Lukman.

Berdasarkan pemantauan di lapangan, di Jakarta pun praktik-praktik diskriminatif pada WNI keturunan Tionghoa masih terjadi kendati UU Kewarganegaraan baru telah diberlakukan.

Saat mengurus akta lahir, misalnya, pegawai di rumah sakit masih memberlakukan tarif berbeda antara warga keturunan dan asli. Biaya pengurusan akta untuk warga keturunan Rp 160.000, sedangkan pribumi Rp 100.000. Di Kantor Catatan Sipil Jakarta Barat, petugas pun masih meminta SBKRI. Setelah ditanya bukankah ada UU Kewarganegaraan baru, dia kemudian hanya mensyaratkan ada akta lahir. (Sutta Dharmasaputra)


No comments: