Monday, June 25, 2007

Kaum Muda Tionghoa Maju dan Berkembang

http://dwelle.de/indonesia/panorama/1.214890.1.html

Pembuat film, Indonesian Idol, model dan petinju. Inilah wajah-wajah segarkomunitas muda Tionghoa.Kaum peranakan muda ini memanfaatkan kebebasan politik yang tercipta begiturezim Soeharto jatuh. Bagi orangtua mereka yang mesti hidup di bawahtekanan, situasi sekarang sungguh luar biasa, meski mereka juga tetapkhawatir. Charlotte Setiadi melakukan studi mengenai generasi muda Tionghoa.Charlotte Setiadi: “Saya dalah peneliti dari La Trobe University. Minat sayaadalah untuk meriset mengenai generasi muda Tionghoa yang ada di masa pascaSoeharto ini. Generasi muda Tionghoa yang ada punya banyak kesempatan untuklakukan banyak hal yang generasi sebelumnya tidak bisa lakukan. Merekasekarang bisa ekspresikan diri lebih dari yang generasi sebelumnya.“Selain Charlotte ada lagi Arianna Dharmawan atau Rani, bagian dari generasimuda Thionghoa. Ia menelusuri minat barunya soal identitas budaya lewatfilm. Rani adalah penggagas kelompok VideoBabes di Bandung, Jawa Baratsekaligus pembuat film independen yang sukses.Di sebuah kafe di salah satu mal Jakarta yang penuh hiasan Tahun Baru Imlek,Rani bercerita, dia pernah tidak bahagia dengan jati dirinya.Rani: “Dulu saya benci dengan kenyataan. Saya gak suka, malah saya maludengan kenyataan saya orang Tionghoa. Mungkin karena keluarga sayaperanakan, lebih merasa Indonesia dibandingkan Cina, tidak pernah merayakantahun baru Cina, tidak punya nama Cina. Saya menjadi memalukan lah jadiorang Cina. Itu cukup lama saya merasa seperti itu. Hingga saya mengubahenergi saya, dari marah ke dendam, menjadi bangga. Karena.. untuk apa kitadendam pada diri kita sendiri? Lebih baik kita mengubah itu jadi sebuahjustru kebanggaan.“Setiap film yang dibuat, kata Rani, adalah upaya mengobati diri sendiri.Sebuah musik menginspirasi Rani membuat dokumenter berjudul ‘Anak NagaBeranak Naga’.Rani: „Itu adalah sebuah dokumenter yang bercerita tentang musik gambangkromong. Yang diangkat adalah akulturasi budaya Tionghoa dan Betawi. Inipenting, lihat, mereka bisa bersatu, bisa berbaur, bahkan membuat kebudayaanbaru yang luar biasa.Kata Rani, dokumenternya bisa meruntuhkan cap tentang komunitas Tionghoayang tinggal di daerah kumuh dan tidak berbaur dengan warga lainnya.Di era baru kebebasan budaya seperti sekarang, banyak peranakan yangberusaha menghidupkan kembali budaya nenek moyang mereka. Goenawan berasaldari Bina Nusantara Mandarin Club, BNMC, yang didirikan tahun 2000.Goenawan: “Untuk tertarik bahasa Mandarin sih udah dari kecil. Perekonomian.Di dunia itu kan hampir dikuasai Cina. Setelah zaman Pak Soeharto itu,banyak minat anak muda Tionghoa itu bersikeras untuk bangun kembalikebudayaannya yang hilang. Contohnya BNMC, ingin kebmalikan tradisiTionghoa. Kebudayaan Tionghoa kan tiba-tiba hilang. Kan aneh gitu. Jadi pasdatang, ini kesempatan kita untuk membangun kembali.“Tapi tidak semua anak muda di komunitas itu merasa hal yang sama. Sepertidisampaikan Irvan Wibowo dari Jaringan Tionghoa Muda.Irvan Wibowo: „Beberapa generasi di atas saya tidak bisa berbahasa Mandarin,segala bahasa Cina. Hanya bisa bahasa Jawa. Keluarga-keluarga yang tingkatanOma segala memang pakai kebaya, kira-kira gitu.”Irvan sering mendapat pertanyaan, apakah dia merasa sebagai orang Indonesiaatau Tionghoa? Bagi Irvan, pertanyaan itu tak penting. Bahkan tak usahditanyakan. Ia percaya, yang lebih penting adalah penghargaan terhadap hakasasi manusia.Banyak peranakan di Tionghoa usia 20-30-an tahun asyik mengeksplorasikebebasan budaya yang kini mereka nikmati setelah runtuhnya rezim Soeharto.Para orangtua punya pendapat yang berbeda-beda seputar kebebasan baru ini.Mereka kerap mewanti, ‘hati-hati’, ‘jangan keterlaluan’. Kembali Charlotte.Charlotte Setiadi: “Itu menurut saya representatif sekali. Bahwa masyarakatTionghoa punya pendapat beragam. Ini bagus sekali dan ini yang perludketahui. Gak semua masyarakat Tionghoa itu, ayo kita bergandengan tanganmenuju ke satu titik. Enggak. Dan semua orang punya cara yang beda-beda.Ekspresi diri itu kan pribadi, beda-beda. Apakah itu lewat bahasa,mendengarkan lagu Mandarin, apakah itu lewat nonton Meteor Garden, punyapotongan rambut F4, itu kan sesuatu yang relatif pada setiap orang.”Tersembunyi di sebuah jalan yang sempit terletak Klenteng Petak Sembilan,di tengah keramaian Glodok, Jakarta Pusat. Lentera merah tampakberderet-deret, wangi hio menyambut pengunjung yang datang.Di salah satu pojokan, seorang laki-laki tua membaca doa demi hal-hal baikdi Tahun Babi ini. Dia sangat senang, komunitasnya bisa bebas merayakanTahun Baru Imlek.Yongkwan Pow: “Saya namanya Yong Kwan Pow. Asal dari Banda Aceh. Sekarangtahun 18 tahun masuk Jakarta. Sekarang sudah umur 71. Dulu tidak bebas.Imlek tidak boleh pesta. Presiden Gus Dur yang terhormat jadi presiden, jadibebas sampai sekarang. Jadi boleh ada Mandarin, dulu tidak bisa. Duluseperti apa bisa cerita sedikit di tahun 60-an, 90-an? Itu tidak bolehbicara. Jangan. Jangan. Bahaya.“Binar kecemasan masih tampak di wajah laki-laki tua itu ketika wawancaradilakuan. Ia terlihat gelisah dan menengok kiri-kanan, mencari tahu apakahada yang mendengar percakapan tersebut.Di bagian lain klenteng ini, ada Sharma Nuriadi. Dia bercerita soaldiskriminasi dan kekerasan yang dihadapi komunitas Tionghoa.Sharma Nuriadi: "Waktu G30S, ya itu ada juga. Kita juga ada. Itu banyak, kantakut ada kejadian, pergolakan. Seperti toko-toko dibakar, diambil. Banyak,kita gak boleh cerita habis-habisan, ntar gak enak. Saya rasa wartawan diAustrali lebih mengerti daripada wartawan di sini. Banyak orang diperkosa."Meski ia sangat senang akan hilangnya pembatasan-pembatasan terhadapkomunitas Tionghoa, ia mewanti generasi muda.Sharma Nuriadi: „Tapi sekarang udah kebuka gini kita udah enak lagi. Tapikita sebagai warga negara harus hati-hati lah. Jangan sepserti sekarangsudah bebas, kita berlebihan. Kalau bisa jangan. Itu jangan kalo bisa.Jangan terlalu meliwati batas. Sekarang sudah boleh, tradisi sudah boleh,jadi jangan terlalu berlebihan, misalnya begini begitu.“Selalu ada ketakutan, kata dia, bahwa mereka bakal kembali menjadi target.Charlotte Setiadi dan Rani paham juga soal itu.Charlotte Setiadi: "Kamu udah lah yang aman-aman aja. Ngapain sihbalik-balik ke Indonesia neliti ginian."Rani: "Dia bangga, itu terlihat bahwa dia bangga. Di lain pihak, dia juga..jangan terlaul.. dia juga ada rasa takut. Apalagi ibu saya, dia suka takut.Apa-apa takut. Ati-ati kamu jangan terlalu menonjol.. nanti kamudimacem-macemin. Mungkin itu terjadi juga pada mereka pada tahun 60. Merekaselalu berusaha di bawah radar. Kalau saya sendiri, saya merasa saya adabatasnya juga. Karena saya gak mau seperti film saya dibikin sepertipropaganda. Bahwa “ini adalah milik Tionghoa”. Yang saya inginkan adalahmilik bersama dan pembaurannya, gimana mereka bercampur, justru itu yangingin saya tunjukkan."Rani berpendapat, soal diskriminasi terhadap keturunan Tionghoa akan terusmenjadi perdebatan hangat. Juga soal identitas dan minat-minat baru akankebudayaan kuno Cina. Semua memberi inspirasi bagi film-film yang digarapRani.Rani: "Mungkin ini jadi inspirasi karena saya merasa masih dibedakan. Kadangbenar, ktia ingin jadi orang Indonesia. Tapi bagaimana pun juga, tidak bisadihilangkan kalau kita orang Tionghoa. Keturunan Tionghoa. Yang sebetulnya,yang kami inginkan, kami dianggap memiliki kewarganegaraan yang sama. Adasuku Jawa, ada suku Batak, tentu saja itu menjadi sebuah pride, sebuahkebanggaan."

Horor Fantasi Rasis

oleh
Robertus Robet, KANDIDAT DOKTOR DI SEKOLAH TINGGI FILSAFAT DRIYARKARA


Sebuah fakta ironis dalam sejarah politik Indonesia bahwa hampir setiap perubahan politik sering didahului dengan kekerasan rasial terhadap etnis minoritas Tionghoa. Bagaimana kemungkinan berulangnya sejarah dan tragedi yang sama dapat kita hindari di masa depan? Untuk memahami ini, kita akan meminta bantuan pandangan Hegelo-Lacanian Slavoj Zizek.
Fantasi bukanlah upaya merealisasi hasrat secara halusinatif. Ia membentuk hasrat, menyediakan kerangka koordinat, bahkan mengajari kita bagaimana berhasrat. Fantasi secara sederhana, bukan soal kalau saya menginginkan semangkuk bubur dan tidak mendapatkannya dalam kenyataan, saya berfantasi makan semangkuk bubur. Ini bukan fantasi. Sebaliknya, fantasi berurusan dengan pertanyaan bagaimana saya tahu bahwa saya menginginkan semangkuk bubur? Fantasi memberi tahu saya mengapa saya ingin makan bubur. (Zizek, 1997, The Plague of Fantasies, halaman 7).
Pada titik ini, sebagaimana Lacan, Zizek mengatakan bahwa fantasi selalu muncul dalam hubungan atau bersifat intersubyektivitas. Lacan mengatakan bahwa hasrat yang terpenuhi dalam fantasi bukanlah milik subyek, tapi selalu milik the other. Fantasi adalah respons subyek terhadap pertanyaan "apa yang kamu inginkan dariku". Dengan itu, fantasi membentuk identitas "aku di hadapan tatapan yang lain", aku selaku obyek dari hasrat yang lain.
Rasisme selalu berurusan dengan fantasi. Dalam praktek sehari-hari, misalnya, dalam kasus keturunan Tionghoa menjadi sasaran. Fantasi rasis bekerja dengan cara dan dimulai dengan sangkaan, misalnya Cina ini mencurigakan, saya tidak tahu apa yang dia inginkan, maka saya kemudian menciptakan sebuah skenario mengenai hidden agenda. Saya merancang sebuah pikiran--tanpa perlu asosiasi apa pun--bahwa Cina ini serakah, tamak, dan mau mencuri harta kekayaan bangsa saya. Sangkaan dan fantasi ini saya bawa setiap hari.
Yang menjadi soal di sini kemudian, apakah dengan mengenal dan memahami si Cina secara lebih dalam, akan dengan serta-merta menghilangkan sikap dan prasangka rasis saya? Menurut Zizek, meski telah memahami secara sungguh-sungguh apa, siapa, dan bagaimana si Cina, saya tetap akan jadi seorang bajingan rasis. Mengapa? Di sinilah fungsi fantasi itu bekerja. Cara saya memandang si Cina bukan mengarah pada persoalan realitas yang obyektif atau bukan. Saya memandang melalui sudut pandang fantasi. Di sini saya tidak dapat mengkontraskan realitas yang sebenarnya dengan fantasi saya. Sebab, kerangka fantasi saya mendahului membentuk dan mendasari realitas.
Dua tahap
Di sini terdapat dua tahap atau dua jenis fantasi rasis. Pertama, yang berakar dari dugaan bahwa the other menginginkan apa yang saya nikmati dan bahwa the other selalu menggunakan cara-cara yang aneh dalam memuaskan hasrat atau memiliki hasrat yang asing bagi saya (Zizek, dalam Tony Myers, 2003, halaman 105).
Pada tahap kedua, lebih jauh lagi, sering kali rasisme juga merefleksikan ketegangan dan konflik antarfantasi. Apa yang menjadi fantasi si asing bertentangan dengan apa yang menjadi fantasi kelompok saya. Jadi seorang rasis Jakarta, misalnya, akan dengan segera merasa terganggu dan bereaksi apabila melihat seorang Cina berjalan dengan berpotongan rambut atau pakaian ngejreng. Si Cina, dalam sudut pandang konvensional rasis Jakarta, dianggap tidak tahu bagaimana bergaya sesuai dengan fantasi gaya hidup saya. Dengan demikian, cara pakaian dan potongan rambut semacam itu akan segera dianggap sebagai ancaman bagi kehidupan budaya orang Indonesia.
Lantas bagaimana konflik antarfantasi ini dapat diredakan? Zizek mengajukan dua upaya untuk melampaui fantasi rasis ini. Pertama, dengan melakukan oposisi, bukan oposisi kepada negara, melainkan kepada civil society sendiri. Dalam pengalaman Slovenia, Zizek melihat bahwa dalam suatu keadaan ketika civil society dipengaruhi oleh politik sayap kanan dan rasisme merebak di masyarakat, civil society mustahil dijadikan sandaran bagi penghancuran fantasi rasis. Di sini negara kembali harus diajak untuk mengambil peranan.
Namun, kemudian yang menjadi soal adalah, dalam berbagai kasus, fantasi rasis juga mengindikasikan semacam hasrat si rasis untuk mengatakan bahwa "seandainya si Cina, si Arab, si Jepang, si bule tidak di sini, hidup pasti akan lebih baik, masyarakat saya pasti akan lebih harmonis". Dalam kasus semacam ini, sehebat apa pun negara berperan, fantasi rasis tidak dapat dihapuskan karena berakar pada eksistensi the other dan harapan yang lebih besar mengenai ideal masyarakat utuh. Sebagai contoh, Orde Baru selalu mengulang-ulang secara periodik pernyataan dan imbauan bahwa golongan minoritas Tionghoa mesti melakukan pembauran. Biasanya diajukan di depan para konglomerat Tapos.
Imbauan semacam ini sebenarnya tidak sekadar dimaksudkan sebagai upaya untuk benar-benar meminta partisipasi minoritas sebagaimana warga yang lain. Yang lebih gawat dari situ dan yang sebenarnya terjadi adalah dengan itu Soeharto hendak membangun sebuah pandangan bahwa pada dasarnya negara dan bangsa kita ini sudah bersatu, tapi dalam realitas selalu menjadi kurang bersatu karena adanya unsur Tionghoa yang selalu gagal untuk bersatu dan membaur. Soeharto memandang bahwa masyarakat Indonesia sejatinya adalah harmonis. Kalau ada masalah, yang bikin masalah pasti Cina. Kalau ada komunis, itu dulu gara-gara Cina. Kalau ada kesenjangan, kaya-miskin, karena ada kapitalis Cina. Kalau pembangunan ada kekurangan, ya, karena masih ada unsur Cina yang kurang sadar berwarga negara.
Jadi di sini Cina dipertahankan, tapi sekaligus dipakai secara instrumental sebagai semacam kambing hitam abadi. Di titik ini, konglomerat Cina adalah bagian atau etalase yang mesti terus dipelihara dan ditonjolkan dalam sistem patronase ekonomi Orde Baru, karena ia berfungsi untuk tetap memelihara jalannya skenario bahwa negara dan bangsa pada dasarnya harmonis, ekonomi juga maju. Yang bikin kacau dan tidak maju, ya, Cina yang kaya raya.
Di titik ini, fantasi rasis mulai bergeser dari tingkat intersubyektif mengarah pada persoalan kegagalan dalam memandang ketaksempurnaan masyarakat. Di sini, persis sebagaimana ditekankan oleh Zizek bahwa the fantasy racist figure is just a way of covering up the impossibility of a whole society or an organic Symbolic Order complete unto itself (Zizek, dalam Myers, halaman 108).
Di titik ini, kegagalan menerima kenyataan ketaklengkapan masyarakat membentuk suatu pandangan rasis dalam kerangka mencari sandaran dan kambing hitam atas fakta kekosongan dramatis ini. Di sini Cina, Yahudi, atau Arab tidak lebih diambil secara instrumen untuk memenuhi skenario masyarakat harmonis itu. Sumber inspirasi rasis berasal dari suatu mekanisme yang jauh lebih kompleks, mapan, dan masif karena menyangkut pandangan hampir semua anggota masyarakat mengenai masyarakat itu sendiri. Artinya, selama masih ada ilusi mengenai masyarakat organis yang harmonis dan utuh, selama itu pula pencarian mekanisme kambing hitam dan fantasi rasis itu bekerja. Fantasi rasis di sini berakar dalam kegagalan permanen masyarakat yang menjadikan dirinya total.
Penutup
Sejarah kontemporer kita tahun-tahun belakangan ini dipenuhi dengan berbagai ketegangan, dari Kalimantan, Ambon, hingga Poso. Kekejaman dalam konflik dan ketegangan ini secara paradoksal telah menghadirkan semacam kesaksian brutal tapi produktif bahwa masyarakat kita sesungguhnya selalu bergolak dan tidak pernah utuh. Ilusi kesatuan organik yang dipelihara semenjak Orde Baru memakan dirinya sendiri dan menghamparkan kepada kaum rasis bahwa whether they (Cina, Arab, Dayak, Madura, dan lain-lain) are here or not, society is always-already divided. Negativitas sebagaimana ditekankan Hegel secara nyata menghadirkan semacam kelegaan dan kesadaran baru yang bisa kita pakai untuk meluruhkan fantasi rasis melalui pemaparan faktual bahwa terlepas ada Cina atau tidak, ternyata masyarakat kita memang bopeng dan bergolak.
Dan karena masyarakat kita selalu bopeng, totalitas organik adalah tidak mungkin. Akhirnya, sikap terbaik dalam membangun hidup bersama adalah dengan menyadari bahwa setiap kelompok selalu memiliki kekurangan dan masyarakat sendiri selalu compang-camping. Di sini solidaritas baru dan nasionalitas harus dibentuk, bukan berdasarkan ilusi transendental akan kesamaan dan keseragaman, melainkan atas dasar perbedaan.

Sunday, November 12, 2006

Masih Ada Praktik Persulit Tionghoa Buat Akte Lahir

Pontianak,- Masih adanya praktik mempersulit warga Tionghoa ketika membuat akte kelahiran sangat disesalkan Michael Yan Sriwidodo. Anggota DPRD Provinsi Kalbar tersebut masih menerima laporan mengenai adanya praktik-praktik itu."Jika masih ada pihak Catatan Sipil memberlakukan praktik-praktik lama, tentu kita sangat sesalkan," ujar Michael ketika ditemui usai menghadiri paripurna Pendapat Akhir (PA) yang berlangsung Selasa, 26 September di Balirungsari Gedung DPRD Provinsi Kalbar. Bahkan secara tegas Michael mengatakan, jika dia memiliki kewenangan untuk melakukannya, maka dia akan mencopot pejabat Catatan Sipil yang masih melakukan itu karena dinilai menghambat.


Legislator asal daerah pemilihan Kota Pontianak tersebut berharap tak ada lagi alasan untuk mempersulit masyarakat Tionghoa, dalam pembuatan akta kelahiran. Apalagi akta kelahiran dikatakan dia merupakan dokumen yang penting bagi negara, pemerintah, hingga masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya pemilik akta tersebut. "Sebetulnya kesadaran masyarakat untuk membuat akta kelahiran sangat membantu kepentingan pemerintah, terutama dalam hal ketertiban data dan administrasi kependudukan," ucapnya.

Dengan argumen tersebut Michael berpandangan, seharusnya menjadi peran aktif pemerintah untuk menciptakan suatu sistem administrasi dan kemudahan bagi masyarakat, agar memperoleh data yang lengkap. Sementara untuk membuat sebuah akte kelahiran dikatakannya, diperlukan waktu serta tempat kelahiran yang jelas, sehingga mestinya diberi kemudahan-kemudahan.

Adanya kemudahan-kemudahan terhadap etnis Tionghoa mesti diberlakukan dengan mengacu Undang-Undang Kewarganegaraan. Pada undang-undang tersebut dikatakan dia, telah sangat jelas adanya pengakuan kewarganegaraan, tanpa membedakan asal suku, etnis, dan agama. "Semua mengacu pada keberadaan orang tua, apabila orang tua mereka telah diakui sebagai orang tua baik dari pihak perempuan maupun laki-laki, semua telah jelas diatur dalam undang-undang," paparnya.

Maka apa yang telah jelas diatur dalam undang-undang, diharapkan Micahel tidak perlu lagi menunggu terbitnya Peraturan Pemerintah (PP). Selama ini, pengakuan terhadap etnis Tionghoa sebagaimana diamanatkan pada UU Kewarganegaraan diungkapkan dia menjadi samar akibat menunggu terbitnya PP. "Kecuali untuk hal-hal yang belum jelas, sementara kriteria mengenai kewarganegaraan telah jelas diatur dalam undang-undang itu," tuntasnya. (ote)

Susahnya Menjadi WNI di Surabaya

Liauw Djai Ming (59) kini tidak pernah pergi jauh dari rumahnya di Jalan Tambaksegaram, Surabaya. Djai Ming takut keluar rumah karena khawatir ada razia kartu tanda penduduk.

Meskipun lahir dan tumbuh besar di Surabaya, Djai Ming tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP) ataupun kartu keluarga. Setelah 57 tahun tinggal di Indonesia, Djai Ming masih dianggap warga negara asing.

Hal sama dirasakan Lim Djai Ling (29). Djai Ling hanya memiliki akta kelahiran dan surat tanda melapor diri (STMD). Padahal, orangtua Djai Ling yang saat ini berusia lebih dari 50 tahun lahir dan besar di Surabaya.

Karena tidak memiliki kartu keluarga dan KTP, lulusan SMEA ini mengalami kesulitan saat melamar pekerjaan. "Akhirnya saya mendapat kerja dengan bantuan teman. Tapi, kalau disuruh atasan ke kantor atau ke bank yang memerlukan KTP jadi tidak bisa," katanya.

Lebih parah lagi, Djai Ling saat ini tidak juga bisa menikah dengan lelaki pilihannya. Petugas catatan sipil menolak berkas yang diajukan Djai Ling dan pasangannya, Hary. Padahal, Hary sudah terdaftar sebagai warga negara Indonesia (WNI).

Saat mengajukan permohonan pembuatan kartu keluarga ke kelurahan maupun ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Surabaya, Djai Ling kembali ditolak. Untuk memproses kartu keluarganya, Djai Ling harus memiliki kartu izin tinggal tetap (kitap). Membuat kitap berarti harus dilakukan di kantor imigrasi.

"Di kantor imigrasi, saya disuruh ke Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM di Jalan Kayun. Di sana saya diberi tahu kalau mau cepat, surat harus dikirimkan ke Jakarta. Sampai sekarang saya masih menunggu jawaban dari Jakarta," tutur Djai Ling.

Untuk setiap kitap yang dibuat, setahu Djai Ling, biayanya berkisar Rp 2 juta. Padahal, saat mengajukan kitap, Djai Ling harus mengajukan kitap untuk tiga orang, yakni ibunya Tan Siu Ke, adiknya Lim Hai Liong, dan Djai ling sendiri. Berarti, Djai Ling harus menyiapkan uang sekitar Rp 6 juta. Padahal, gajinya per bulan tidak mencapai Rp 1 juta. Djai Ling juga masih harus membiayai hidup ibunya.

Ong Giok Bie (48), warga Krembangan Baru, Surabaya, juga tidak memiliki KTP dan kartu keluarga sampai sekarang. Padahal, sejak tahun 1996 Giok Bie sudah mengajukan pengurusan kartu keluarga dan KTP. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil selalu menolak pengajuan Giok Bie dengan alasan tidak ada bukti dan catatan yang menguatkan bahwa Giok Bie adalah WNI.

"Saya malah dimintai ijazah. Lha, saya tidak sekolah. Saya pribumi asli, cuma namanya saja yang China," katanya dengan sedih. Lali, ibu kandung Giok Bie, keturunan Jawa. Petugas catatan sipil juga meminta surat-surat identitas dari orangtua dan delapan saudara Giok Bie lainnya.

Pada 23 Agustus 2006, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Surabaya melalui Kecamatan Krembangan secara tegas menolak permohonan Giok Bie tanpa dasar. Sampai saat ini Giok Bie pun ketakutan untuk keluar rumah.

Djai Ling, Giok Bie, dan Djai Ming hanya tiga contoh warga keturunan Tionghoa yang saat ini kesulitan mendapatkan kartu identitas. Meskipun melengkapi dokumen yang diperlukan, proses pengajuan dokumen selalu dipersulit. Ujung-ujungnya, petugas selalu meminta biaya besar.

Sebaliknya, kemampuan ekonomi ketiga orang tersebut sangat terbatas. Giok Bie hanya berjualan kue di sekitar rumahnya, sedangkan Djai Ling hanya karyawan sebuah perusahaan swasta di daerah Pasar Kembang. Adapun Djai Ming saat ini tidak mempunyai pekerjaan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, warga yang telah tinggal di Indonesia minimal lima tahun berturut-turut dapat mengajukan pewarganegaraan. Persyaratannya hanya sehat jasmani dan rohani, tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana, kewarganegaraan Indonesia tidak menimbulkan kewarganegaraan ganda, mempunyai pekerjaan, dan membayar uang pewarganegaraan ke kas negara. Dalam perundang-undangan itu disebutkan Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tak berlaku lagi.

Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Surabaya Kusnowihardjo mengatakan, berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan Tahun 2006, siapa pun yang lahir di Indonesia mendapat kewarganegaraan Indonesia. "Tapi, undang-undang tidak berlaku surut," katanya.

Secara terpisah, pengajar Fakultas Hukum Universitas Surabaya Prof Dr Eko Sugitario mengatakan, alasan-alasan itu hanya dicari-cari. Untuk mendaftarkan diri sebagai WNI seharusnya tinggal melapor ke Kantor Imigrasi dan pada akta kelahiran ditambahkan catatan 'Berdasarkan keputusan nomor sekian, yang bersangkutan menjadi WNI'.

"Tidak perlu pakai kitap. Itu aturan penjajah yang tidak perlu digunakan lagi," kata Eko.

Pada tingkatan regulasi, menurut aktivis Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD) Akhol Firdaus, masalah diskriminasi sudah teratasi. Kenyataannya, masalah ini sangat dekat dengan urusan komersialisasi. Karena berkaitan dengan uang, bentuk dan jumlah diskriminasi ini sangat beragam.

"Masalah ini menonjol pada keturunan Tionghoa karena sampai saat ini mereka masih dianggap kalangan berkemampuan ekonomi baik. Padahal, nyatanya tidak demikian," kata aktivis JIAD lain, Amin Hasan. Kini, JIAD mendampingi korban-korban diskriminasi yang bergabung dalam Solidaritas Korban Diskriminasi.

Masalah ini seperti gunung es. Tidak hanya tiga orang itu yang sesungguhnya menjadi korban, tetapi banyak pula warga lain yang saat ini belum mendapat pengakuan kewarganegaraan. Terkadang masalah ini hanya diselesaikan melalui lobi-lobi pribadi yang tidak menuntaskan akar permasalahannya.

Dihubungi terpisah, mantan anggota Panitia Khusus RUU Kewarganegaraan Lukman Hakim Saifuddin menyesalkan masih terjadinya kasus tersebut.

"Problem sekarang itu adalah birokrasi. Mereka yang di garis depan ini banyak yang belum paham atau ujung-ujungnya duit," kata Lukman (F-PP, Jawa Tengah VI) ketika dikonfirmasi Kompas.

Menurut Lukman, pelaksanaan UU No 12/2006 tentang Kewarganegaraan memang masih harus dilengkapi dengan peraturan pemerintah dan peraturan menteri. Tapi, pada intinya, semangat dari UU No 12/2006 adalah mempermudah dan melindungi hak-hak warga negara, bukan mempersulit.

Lukman menegaskan bahwa semua orang yang lahir di Indonesia dan tidak pernah menjadi warga negara lain otomatis adalah warga negara Indonesia. Hal itu dapat dibuktikan dengan akta lahir.

"Surat bukti kewarganegaraan RI sudah tidak ada lagi," ungkapnya.

UU Kewarganegaraan pun tidak membedakan kapan akta lahir itu didapatkan, apakah sebelum atau sesudah UU ini disahkan. Karena itu, Djai Ling yang memiliki akta lahir seharusnya dianggap sebagai WNI.

"Semangat UU Kewarganegaraan yang baru adalah mempermudah dan memberi perlindungan, bukan mempersulit," kata Lukman.

Berdasarkan pemantauan di lapangan, di Jakarta pun praktik-praktik diskriminatif pada WNI keturunan Tionghoa masih terjadi kendati UU Kewarganegaraan baru telah diberlakukan.

Saat mengurus akta lahir, misalnya, pegawai di rumah sakit masih memberlakukan tarif berbeda antara warga keturunan dan asli. Biaya pengurusan akta untuk warga keturunan Rp 160.000, sedangkan pribumi Rp 100.000. Di Kantor Catatan Sipil Jakarta Barat, petugas pun masih meminta SBKRI. Setelah ditanya bukankah ada UU Kewarganegaraan baru, dia kemudian hanya mensyaratkan ada akta lahir. (Sutta Dharmasaputra)


Lee dan Perjuangan Melawan Diskriminasi


Menteri mentor Singapura Lee Kuan Yew, dalam sebuah forum tentang good governance di Singapura, membuat pernyataan yang membuat gerah pemerintah Malaysia dan Indonesia. Ia menilai kedua pemerintah bersikap diskriminatif terhadap etnis Tionghoa.
Menurut Lee, Malaysia dan Indonesia juga ingin Singapura selalu mengalah seperti orang-orang Tionghoa di kedua negara tersebut. Yang paling membuat tersinggung kedua pemerintah, Lee di antaranya menyebut "di Indonesia dan Malaysia orang-orang Tionghoa adalah pekerja keras dan orang-orang yang berhasil, namun mereka dimarjinalkan secara sistematis" (The Straits Times,16 September 2006).
Ucapan itu ibarat membakar ilalang di musim kemarau. Publik Malaysia sangat marah, seperti tampak dari responden Berita Harian yang sekitar 88%-nya menuntut Lee segera meminta maaf, sedang sisanya 12% tak mau lagi memaafkan mantan Perdana Menteri Singapura itu.
Syukurlah, di koran Straits Times, edisi 3 Oktober 2006 Lee yang pernah tinggal di Surabaya itu langsung meminta maaf pada PM Malaysia. Lee mengaku tidak bermaksud mencampuri urusan dalam negeri Malaysia maupun Indonesia. Sebelumnya, Lee juga mengirim surat pribadi kepada PM Ahmad Badawi.
Publik kita, khususnya media kita, tampaknya tidak mau mem-blow up omongan Lee. Boleh jadi ini mempertimbangkan nilai sensitivitasnya. Meski begitu, Deplu RI tetap meminta klarifikasi tentang pernyataan tersebut. Dan omongan itu toh dijadikan diskusi di berbagai tempat, seperti di Surabaya.
Ada beberapa hal menarik terkait ucapan Lee tersebut. Pertama-tama, omongan itu ada benarnya, tapi juga salah sasaran jika yang dimaksud Lee dengan pemerintah Indonesia adalah pemerintahan Yudhoyono. Dalam dua tahun pemerintah Yudhoyono, etnis Tionghoa tidak merasa dimarjinalkan, tapi justru merasa dirangkul sebagai bagian integral bangsa ini.
Buktinya Yudhoyono sudah menandatangani UU No 12 tentang Kewarganegaraan pada awal Agustus 2006 yang sebelumnya sudah diresmikan DPR pada 11 Juli 2006. UU ini tampak menyatakan tidak ada pemisahan lagi antara yang Tionghoa dan bukan.

Orba Sangat Anti-Tionghoa
Kebijakan Yudhoyono itu tentu sesuai dengan semangat kebangsaan kita yang telah dipilih oleh para founding fathers kita bahwa Indonesia tidak berdasar pada ras atau etnis. Konsep kebangsaan kita memang tidak mempermasalahkan asal usul, keturunan, ras, etnisitas, warna kulit dan latar belakang lainnya.
Kini guna mendukung UU No 12 tahun 2006, juga tengah digodok Rancangan Undang-Undang Antidiskriminasi dan RUU Kependudukan dan Catatan Sipil. Ini jelas langkah positif. Ini untuk menunjukkan bahwa etnis Tionghoa bukan lagi "mereka" tapi "kita". Kebijakan pemerintahan Yudhoyono jelas harus diapresiasi.
Kedua, pernyataan Lee benar sekali jika yang dijadikan sasarannya adalah pemerintah Indonesia di masa Orba. Meski Lee sangat bersahabat dengan Soeharto, penguasa 32 tahun Orba, tapi boleh jadi kita sudah tahu bahwa di masa Soeharto justru terjadi diskriminasi dan marjinalisasi yang hebat terhadap etnis Tionghoa dalam 61 tahun negeri ini.
Soeharto memang merangkul para konglomerat Tionghoa, tetapi itu dilakukan sejauh menguntungkan bagi regim dan kroninya. Akibat dari kedekatan para konglomerat itu, jutaan Tionghoa yang melarat atau biasa-biasa hidupnya justru sering jadi sasaran kebencian dan dskriminasi di tingkat bawah.
Apalagi jika kita melihat jiwa Orba, sesungguhnya regim di bawah Soeharto itu sangat anti-Tionghoa. Ketika Orba mulai berkuasa tahun 1965, bersamaan dengan peristiwa 30 September 1965, etnis Tionghoa mulai terpinggirkan bahkan tiarap, apalagi etnis Tionghoa ditengarai temasuk dalam kubu PKI yang berorientasi ke Peking (RRT).
Kedekatan etnis Tionghoa dengan Soekarno, membuat Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia), sebagai media aspiratif etnis Tionghoa paling populer saat itu harus menerima kenyataan dibubarkan. Sejak peristiwa itu, hal-hal yang berbau Tionghoa ditabukan.
Di Jatim misalnya, Pangdam Brawijaya kala itu (1966) langsung mengeluarkan serangkaian peraturan yang sangat sinofobia (sangat anti-Tionghoa). Peredaran semua koran berbahasa Tionghoa dilarang, termasuk Harian Indonesia yang dikelola Angkatan Darat. Pangdam juga mengeluarkan empat kebijakan diskriminatif.
Pertama, mereka hanya diperbolehkan berdagang di Surabaya. Kota-kota lain di Jawa Timur tertutup bagi mereka. Kedua, mereka dilarang pindah keluar dari Jawa Timur. Ketiga, mereka yang tinggal di Jawa Timur dikenai pajak Rp 2.500 per orang. Keempat, melarang huruf atau apa pun yang berbau Cina atau Tionghoa.

KTP Jutaan Rupiah
Sudah barang tentu empat kebijakan itu menimbulkan gejolak yang luar biasa ketika itu. Setiap hari ribuan warga Tionghoa di kota-kota di Jatim berunjuk rasa. Konyolnya, demo itu juga direspons dengan demo tandingan yang anarkis dan sangat anti-Tionghoa.
Beribu-ribu pemuda yang bergabung dalam kesatuan aksi membakar pabrik, menjarah toko milik warga Tionghoa, dan melakukan tindakan tak terpuji lainnya yang amat memojokkan etnis Tionghoa.
Hal-hal seperti itu juga terjadi di banyak daerah di luar Jatim. Setiap warga Tionghoa yang ditemukan bisa dipukuli hingga babak-belur seperti dipaparkan Charles A. Coppel dalam bukunya, Tionghoa Indonesia dalam Krisis (Pustaka Sinar Harapan, 1994).
Kini dari sisi kebangsaan, etnis Tionghoa sudah dirangkul oleh pemerintah sebagai bagian integral bangsa ini. Tapi di dalam realita hidup sehari-hari memang tak mudah memupus diskriminasi. Para birokrat di dalam pemerintahan Yudhoyono sendiri juga masih ada yang bermental ala Orba atau penjajah, dengan selalu mempersulit etnis Tionghoa dalam mengurus surat-surat, entah untuk KTP, paspor atau akta kelahiran dan perkawinan.
Di Surabaya misalnya, sebagian warga Tionghoa bahkan bisa keluar jutaan rupiah untuk mengurus KTP.
Meski begitu, etnis Tionghoa jangan pernah berkecil hati untuk terus berani memerangi diskriminasi. Kita tidak bisa meminta pada Tuhan untuk dilahirkan sebagai etnis ini atau etnis itu. Kita juga tidak perlu mendiskriminasi orang yang mendiskriminasi kita sehingga kita bisa menghindari lingkaran seta kebencian.
Memang untuk mewujudkan masyarakat yang toleran dan bebas diskriminasi dibutuhkan perjuangan panjang.
Namun yang terpenting dari semua itu adalah bagaimana kita bisa terus bekerja memajukan bangsa ini lewat talenta dan apa yang ada pada diri kita. Jika Indonesia terus terjebak dalam konflik primordial entah karena ras atau agama, kita tidak akan pernah bisa meraih kejayaan.
Kita hanya akan menjadi bangsa terbelakang, karena soal ras atau agama terus-menerus dijadikan bahan peledak untuk memecah belah bangsa dan kemanusiaan. Mari kita buktikan bahwa perbedaan yang ada pada kita bisa menjadi rahmat bagi sesama, bukan laknat atau kutukan yang membuat kita makin tercerai berai.

Oleh
Tom S Saptaatmaja

Penulis adalah teolog dan aktivis Tionghoa Surabaya.

Diskriminasi,Kata Lee Kuan Yew

DALAM sebuah forum di negaranya, menteri mentor Singapura Lee Kuan Yew

menyatakan: Indonesia dan Malaysia mempunyai masalah dengan kaum Cina

karena mereka (orang Cina) itu sukses. Mereka adalah pekerja keras dan

dengan demikian mereka dipinggirkan secara sistematis. Pernyataan tersebut

sangat mengejutkan dan mendapat reaksi keras dari Malaysia.

Sebagai catatan pertama, dapat dikatakan bahwa di Singapura, etnis

Tionghoa memang tidak terpinggirkan karena merekalah yang mayoritas. Namun

bagaimana halnya dengan kelompok Melayu yang menjadi minoritas di sana?

Apakah kaum Melayu tidak merasa terpinggirkan? Apakah mereka tidak merasa

berada di emperan dan paviliun rumah orang Singapura? Semoga hal ini bisa

menjadi permenungan bagi menteri guru Singapura, Lee Kuan Yew.

Malaysia memang dalam struktur kebangsaannya mendasarkan diri atas

pengelompokan rasial atau etnis, sehingga jika berbicara tentang usaha

mencapai keharmonisan bangsa ada kemungkinan terdapat kebijakan yang

menyinggung masalah rasial, baik secara positif maupun negatif. Lain

halnya dengan Indonesia, yang mendasarkan paham kebangsaannya dalam

pengertian non-etnis (non-rasial), tetapi etis dan politis.

Kebangsaan atau nationhood Indonesia itu baru terbentuk dan dibentuk

secara bersama-sama-termasuk keturunan asing, seperti etnis Tionghoa-pada

hari pernyataan kemerdekaan Indonesia secara formal konstitusional 17

Agustus 1945. Ya, secara yuridis formal di dalam paham kebangsaan

Indonesia tidak terkandung diskriminasi rasial, meskipun dalam realitas

kehidupan sehari-hari diskriminasi rasial itu terjadi dan dirasakan oleh

warga keturunan Tionghoa, seirama dengan pasang-surut rasa kebangsaan

kita.

Keikutsertaan etnis Tionghoa dalam pembentukan kebangsaan Indonesia itu

telah dimulai dengan peran serta orang seperti Liem Koen Hian dan tiga

orang Tionghoa lainnya, yakni Oei Tjong Hauw, Oei Tiang Tjoei, dan Mr. Tan

Eng Hoa dalam keanggotaan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan

Kemerdekaan Indonesia). Usaha nation-building Indonesia ini dilanjutkan

Yap Tjwan Bing, Siaw Giok Tjhan, dan Tan Po Gwan, Auwjong Peng Koen, Yap

Thiam Hien, Oh Sien Hong, dan Thio Thiam Tjong. Generasi berikutnya adalah

K. Sindhunata dan Yunus Yahya beserta kawan-kawan. Mereka ini dalam waktu

dan caranya telah secara intens mengusahakan terbentuknya nation-building

Indonesia.

Pada zaman reformasi ini terjadi perkembangan yang positif dalam masalah

etnis Tionghoa di Indonesia. Tokoh nasional seperti Amien Rais bersama

PAN, Akbar Tandjung bersama Golkar, Megawati Soekarnoputri dengan PDI

Perjuangan, KH Abdurrahman Wahid dari NU, Ahmad Syafi'i Ma'arif dan Din

Syamsuddin bersama Muhammadiyah, mampu memberikan makna tentang kebangsaan

secara lebih jelas dan menyediakan ruang yang lebih luas, serta

menyejukkan kepada warga keturunan Tionghoa.

Berkat usaha dan inspirasi mereka itu, terjadilah kemajuan yang berarti

dalam perumusan perundang-undangan. Kata "asli" yang memang terdapat dalam

Undang-Undang Dasar 1945, yang bisa ditafsirkan sebagai diskriminasi

rasial, misalnya, dapat lebih diklarifikasi dan dijelaskan. Undang-Undang

Kewarganegaraan yang baru disahkan dapat merumuskan bagaimana kedudukan

warga Tionghoa sehingga dapat mengikat mereka dalam rasa kebangsaan yang

nir-diskriminatif. Perlu dicatat pula kesungguhan Slamet Effendy Yusuf,

anak NU di Golkar, dan tokoh-tokoh Tionghoa di DPR sekarang, seperti

Murdaya Widyawimarta Poo, Alvin Lie Ling Piao, Rudianto Tjen, Enggartiasto

Lukita, yang turut memperjuangkan UU Kewarganegaraan yang baru dan

disambut dengan baik oleh warga keturunan Tionghoa.

Proses legislasi masih akan dilanjutkan dengan pembahasan Rancangan

Undang-Undang Antidiskriminasi, yang menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia Hamid Awaludin akan diprioritaskan. Kemudian RUU Kependudukan dan

Catatan Sipil yang kini sedang dibahas untuk menggantikan undang-undang

yang berlaku sekarang yang secara kolonial memang bersifat rasial.

Demikian pula dengan pembahasan RUU Keimigrasian. Kalau ketiga rancangan

undang-undang tersebut nantinya disahkan menjadi undang-undang dan juga

mempunyai semangat dan jiwa seperti UU Kewarganegaraan ini, secara formal

yuridis masalah rasial di Indonesia akan teratasi dan wawasan kebangsaan

akan semakin bulat.

Setelah adanya undang-undang yang baik itu di kemudian hari, tergantung

bagaimana ini dilaksanakan di masyarakat. Semua undang-undang ini menjadi

penting justru pada saat bangsa Indonesia mengarah pada disintegrasi.

Kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana warga keturunan

Tionghoa dapat memahami undang-undang ini bersama-sama dengan warga yang

lain. Jangan sampai mereka, khususnya orang Tionghoa, hanya menuntut

haknya tetapi melalaikan kewajibannya. Bagaimana dalam masyarakat, etnis

Tionghoa ini memiliki rasa senasib dan sepenanggungan, serta solidaritas

nasional. Kemudian diharapkan pula bahwa masyarakat lainnya dapat menerima

kehadiran etnis Tionghoa ini secara ikhlas sebagai sesama warga sebangsa.

Karena hanya dengan sikap yang non-diskriminatif, rasial, dan etnislah

dapat dibangun nation-building Indonesia yang memenuhi tuntutan zaman

modern ini yang memenuhi tuntutan hak asasi, rule of law, dan dasar negara

hukum.

Oleh Harry Tjan Silalahi
Penulis dari CSIS (Centre for Strategic and International Studies)

DISKRIMINASI DALAM PENGANGKATAN PAHLAWAN ?

Tahun ini pemerintah mengumumkan pengangkatan tambahan 8 pahlawan baru
melengkapi pahlawan nasional yang telah berjumlah 129 orang. Namun pada
daftar itu terdapat seorang pun pahlawan yang berasal dari etnis Tionghoa.
Memang ada tokoh yang telah memperoleh bintang jasa seperti Rudy Hartono.
Namun belum ada sampai sekarang pahlawan nasional dari komunitas ini.

Kenyataan ini menimbulkan tanda tanya apakah masih terdapat diskriminasi
dalam pengangkatan pahlawan nasional? Di media seperti surat kabar dan
majalah sudah berulang kali ditulis misalnya tentang kepahlawanan Mayor
John Lie dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Bahkan sebuah buku
yang disunting Kusniyati Mochtar dan diberi pengantar Ali Alatas,
mengungkapkan secara panjang lebar peran John Lie dalam menembus blokade
Belanda setelah Indonesia merdeka (Memoar Pejuang Republika Indonesia
seputar 'Zaman Singapura' 1945-1950, Gramedia Pustaka Utama, 1992).

John Lie adalah mualim pada kapal pelayaran niaga milik Belanda KPM yang
kemudian bergabung dengan Angkatan Laut RI. Pada mulanya ia bertugas di
Cilacap dengan pangkat kapten. Di pelabuhan ini selama beberapa bulan ia
berhasil membersihkan ranjau yang ditanam oleh Jepang untuk menghadapi
pasukan Sekutu. Atas jasanya ini pangkatnya dinaikkan menjadi mayor.
Selanjutnya ia ditugaskan untuk mengamankan pelayaran kapal yang
mengangkut komoditi ekspor Indonesia untuk diperdagangkan di luar negeri
dalam rangka mengisi kas negara yang masih tipis waktu itu. Pada masa
awal (tahun 1947) ia pernah mengawal yang membawa karet seberat 800 ton
untuk diserahkan kepada Kepala Perwakilan RI di Singapura, Utoyo Ramelan.
Sejak itulah ia secara rutin melakukan operasi menembus blokade Belanda.
Karet atau hasil bumi lain dibawa ke Singapura untuk dibarter dengan
senjata. Senjata yang mereka peroleh kemudian diserahkan kepada pejabat
republik yang ada di Sumatera seperti Bupati Riau sebagai sarana
perjuangan melawan tentara Belanda. Perjuangan mereka tidak ringan karena
selain menghindari patroli Belanda, juga harus menghadang gelombang
samudera Hindia yang relatif besar untuk ukuran kapal yang mereka
pergunakan. Pada awal 1950 ketika berada di Bangkok ia dipanggil pulang
ke Surabaya oleh KSAL Subiyakto dan ditugaskan menjadi komandan kapal
perang Rajawali. Pada masa berikut ia aktif dalam penumpasan RMS di
Maluku dan kemudian PPRI/Permesta. John Lie yang dikenal juga dengan nama
Jahya Daniel Dharma tetap berdinas di Angkatan Laut, terakhir dengan
pangkat laksamana muda.

Adanya "wakil" Tionghoa dalam daftar pahlawan nasional sangat penting
dalam rangka memasukkan semua komponen bangsa dalam perjuangan nasional.
Tidak ada komunitas atau golongan yang disingkirkan atau dipinggirkan.
Ini merupakan keniscayaan dalam proses membangun bangsa (nation
building). Apalagi fakta sejarah menunjukkan bahwa di kalangan etnis
Tionghoa ada yang pantas dijadikan pahlawan nasional.
Seyogianya pemerintah dalam hal ini Direktorat Sejarah pada Departemen
Sosial mencoba kreatif dan bersedia melakukan terobosan. Secara prosedur
standar, calon pahlawan itu harus diusulkan oleh daerah. Seorang pejuang
asal Minangkabau, Bagindo Azis Chan diusulkan oleh pemerintah daerah
Sumatera Barat. Demikian pula tokoh-tokoh asal Bugis/Makasar dicalonkan
oleh Sulawesi Selatan. Jawa Barat sangat getol mengusulkan calon pahlawan
yang berasal dari etnis Sunda atau pernah berkiprah di daerah ini.
Persoalannya etnis Tionghoa itu tersebar di mana-mana di seluruh
Indonesia. Mereka harus dicalonkan dari daerah mana ?
Masih banyak hambatan dalam prosedur, kriteria dan komposisi tim penilai
calon pahlawan nasional tersebut. Namun semuanya ini jangan sampai
menimbulkan diskriminasi sejarah bahwa pejuang kemerdekaan dari etnis
Tionghoa tidak layak jadi pahlawan nasional.

Sebetulnya kehadiran "wakil" Tionghoa dalam daftar pahlawan itu bukan
sekedar melengkapi "album bangsa". Namun sebetulnya terkandung juga
tujuan strategis lainnya. Di dalam penelitian yang dilakukan oleh Benny
Subianto tentang "Asal Usul Kekerasan terhadap Etnis Tionghoa" yang
dilakukan pada tiga daerah yaitu Sumatera Utara, Kalimantan Barat dan
Sulawesi Selatan sementara ini disimpulkan bahwa ada tiga penyebab
terjadi kekerasan tersebut yakni a) Etnis Tionghoa masih dianggap "the
other" (orang lain) bagi sebagian besar penduduk Indonesia, b)
kesenjangan ekonomi, c) karena etnis Tionghoa tidak ikut dalam perjuangan
kemerdekaan Indonesia. Dengan memasukkan wakil Tionghoa dalam daftar
pahlawan, maka salah satu faktor negatif penyebab kekerasan telah
dihilangkan atau direduksi.


Oleh Asvi Warman Adam
(Dr Asvi Warman Adam, Ahli Peneliti Utama LIPI)

Etnis Tionghoa dan Sumpah Pemuda

Awalnya istilah Indonesia merupakan definisi ilmiah bagi kepulauan Hindia yang di-kenalkan oleh para antropolog Barat, seperti JR Logan, GSW Earl, dan Adolf Bastian, di penghujung abad ke-19.

Endapan diskursus tersebut telah bertransformasi menjadi suatu bangsa, tepatnya setelah ji-wa-jiwa mudanya mengucap dik-tum Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa.

Berlaksa bangsa yang sebelumnya terberai ideologi primordialisme (kedaerahan, kesukuan, keagamaan) bisa bersatu. Masyarakat madani kita yang mulanya didominasi kental oleh gairah primordial, seperti Jong Java, Jong Sumatranen, Jong Celebes, Jong Ambon, Sarekat Islam, Muhammadiyah, Jong Tionghoa (sejarah mencoba menutupinya) tampak mengorientasi kiblat.

Kelompok nasionalis berlatar belakang sekuler, kalangan agamis (Islam), dan kelompok komunis melakukan konsolidasi di bawah payung ideologis bernama keindo- nesiaan.

Walhasil, 17 tahun kemudian, proklamasi kemerdekaan dideklarasikan, dan lahirlah Pancasila dan UUD 1945. Terpenuhi sudah syarat ontologis yang dibutuhkan Indonesia untuk menjadi sebuah negara-bangsa (nation-state) dalam lembaran sejarah peradaban dunia.

Masyarakat Terbuka

Dalam suatu kesempatan di sela-sela dialog tentang primordialisme, Mohammad Sobari pernah berujar: "Anggaplah nenek moyang kita yang terdahulu telah melakukan kesalahan yang tidak disengaja, dengan menyatakan ada bangsa yang lebih unggul dari yang lain, dan berbagai text books yang menjurus pada primodialisme dan mungkin fundamentalisme."

Lebih lanjut Sobari mengatakan, bagaimana jika kita buang jauh-jauh pemikiran itu dan kita gunakan saja hasil konsensus para pemuda yang diikrarkan pada 28 Oktober 1928, yang kita kenal sekarang sebagai Sumpah Pemuda yang berisi: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa yaitu Indonesia.

Dengan semangat berbeda-beda tetapi tetap satu (Bhineka Tunggal Ika) mungkin dapat mewujudkan masyarakat yang lebih damai dan terbuka (open society), yang menurut Karl Kopper, dapat meredam radikalisme dan fundamentalisme.

Sejak dahulu dalam UUD 1945 (walaupun sudah empat kali diamandemen) dikenal terminologi Indonesia asli dan dalam Pasal 2 UU Kewarganegaraan RI 2006 terdapat istilah "asli" yang berbunyi: "Yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang- undang sebagai warga negara." Sejatinya kata asli memiliki dua dimensi arti yaitu asal usul (originality) atau sejati (genuine), yang artinya sejati atau tulen.

Artian asal usul sebenarnya tidaklah mempunyai dasar ilmiah yang kukuh seperti yang telah lama diuraikan bahwa sebenarnya bangsa-bangsa di kepulauan Nusantara ini pada dasarnya adalah bangsa campuran.

Dalam kehidupan politik yang modern pengertian nation (bangsa) tidak dikaitkan dengan faktor etnisitas, melainkan dengan rasa solidaritas dengan sesama warga negara untuk bersama-sama mewujudkan kehidupan bernegara.

Keaslian tidaklah terkait pada faktor fisik melainkan pada semangat patriotisme. Jadi Indonesia yang asli haruslah bermakna Indonesia yang sejati, yang memiliki semangat cinta Tanah Air dan se- luruh bangsa, serta memandang semua komponen bangsa sebagai sesama.

Sebagai contoh jika keaslian dikaitkan dengan faktor biologis, maka etnik Jawa yang tinggal di Suriname atau orang Ambon eks KNIL, ketika mereka kembali ke Indonesia dan menjadi WNI maka mereka berhak menjadi presiden.

Jadi seolah-olah lebih berhak dibandingkan dengan etnik Tionghoa, Arab, India, atau Indo yang telah turun temurun hidup di sini dan telah berjasa banyak bagi kesejahteraan bangsa. Apakah ini tidak bertentangan dengan rasa keadilan yang berketuhanan?

Oknum Tionghoa yang mengacaukan ekonomi dan menyebabkan kehancuran bank, tidak membayar pajak dengan adil, menyelundupkan kekayaan negara, tidaklah dapat dikategorikan Indonesia yang sejati. Bahkan tidak dapat dikategorikan ke dalam kelompok Indonesia sama sekali.

Walaupun memakai nama Indonesia dan berbahasa Indonesia dengan fasih serta mengenal sejarah perjuangan dengan baik. Tidak dapat disangkal bahwa banyak oknum Tionghoa yang melakukan tindakan kriminal dalam bidang ekonomi dan perdagangan dan tentunya tindakan kriminal lainnya yang cukup menyakitkan bangsa Indonesia secara keseluruhan, baik etnik Tionghoa maupun Melayu.

Namun di sisi lain kontribusi etnis Tionghoa khususnya dalam perekonomian Indonesia sangatlah signifikan, hal ini dapat dikaji dari sejak awal kedatangan etnis Tionghoa di Nusantara.

Intorduksi teknologi pengolahan pangan dan hasil pertanian seperti pembuatan gula tebu, tanaman jati, pendulangan emas dan timah, teknik pengolahan kedelai menjadi tahu, kecap, tauco misalnya merupakan teknik-teknik yang dibawa oleh orang-orang Tionghoa ke Nusantara.

Atas sumbangsih tersebut mungkin anak cucu mereka kini berhak menikmati buah karya leluhurnya tersebut.

Dalam kehidupan modern, etnik Tionghoa menyumbangkan tenaganya dalam bidang perdagangan dan telah menyediakan jutaan lapangan pekerjaan bagi semua pihak.

Tidak sedikit yang banyak berkarya dalam bidang olahraga, ilmu pengetahuan, kedokteran, hukum, perhubungan, keteknikan, pendidikan, dan hampir semua bidang profesi lainnya.

Bahkan ada umat Khonghucu (Yap Tjwan Bing) yang menjadi anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan kemerdekaan Indonesia) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Perlu dicatat pula bahwa sewaktu teks Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dibacakan, tempatnya di rumah seorang Tionghoa Khonghucu bernama Sie Kong Liong, di Jalan Kramat Raya 106 Jakarta (sekarang rumah tersebut dijadikan Museum Sumpah Pemuda). Hingga detik ini sumbangan etnik Tionghoa dalam berbagai sektor cukup besar.

Tindakan Diskriminatif

Fenomena penjarahan toko-toko milik etnik Tionghoa adalah buah dari tidak konsistennya produk hukum dari penguasa dalam kaitannya dengan etnis Tionghoa, serta masih banyaknya tindakan diskriminatif lainnya.

Contoh paling konkret adalah diskriminasi di bidang birokrasi seperti masalah SBKRI yang kadang dipelesetkan menjadi "Surat Bukti Kebodohan Republik Ini" dari arti yang sebenarnya yaitu Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, kasus pencatatan akta kelahiran, dan lain-lain.

Kasus-kasus tersebut merupakan salah satu petunjuk masih kuatnya budaya kesukuan (primordialisme) pada sebagian kalangan di Indonesia.

Kelompok rasialis ini bukan saja telah merusak etnis tertentu, melainkan juga telah merusak ekonomi negara secara keseluruhan. Dengan adanya UU Kewarganegaraan yang baru-baru ini disahkan mudah-mudahan hal-hal tersebut tidak terjadi lagi di masa mendatang.

Dan juga jangan sampai aturan yang telah disepakati bersama tersebut dinodai oleh praktek-praktek oknum rasialis yang mungkin masih tetap ada di bumi Indonesia tercinta ini.

Namun di balik itu semua komunitas Tionghoa Indonesia juga jangan terlalu terbuai dengan tuntutan hak-haknya semata melainkan juga harus mengimbanginya dengan kewajibannya sebagai warga negara yang baik sesuai dengan konstitusi.

Maka dari itu komunitas Tionghoa juga harus belajar membuka diri menuju open society, sebab terkadang teman-teman Tionghoa juga sering kali bersikap eksklusif dalam hal ini kurang membaur.

Sebagai contoh, masih banyak orang Tionghoa yang mengguna-kan bahasa Tionghoa di khasa- nah publik dan hidup berkelompok (pecinan). Hal ini tanpa disadari tidak sesuai dengan isi Sumpah Pemuda.

Etnis Tionghoa hendaknya memang tidak usah ragu-ragu dalam membina negara dan bangsa Indonesia karena memang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari negeri ini.

Kontribusi etnis Tionghoa dalam membangun negara dan bangsa Indonesia tidaklah sedikit.

Mulai sekarang etnis Tionghoa Indonesia haruslah merasa benar-benar at home di negara ini. Setiap individu Tionghoa harus aktif menangkis tuduhan-tuduhan yang tidak adil sesuai tugas dan kewajibannya sebagai warga negara Indonesia yang baik.

Keadaan demografi dan landsekap politik sekarang ini sangatlah berbeda. Konsep kebangsaan lama yang terlalu menekankan homo- genitas di atas keberagamaan tidaklah mengikuti irama zaman. Kebudayaan yang kita hadapi bukan cuma nasional tetapi juga multinasional.

Konfigurasi kebudayaan Indonesia akan semakin mendekati konfigurasi kebudayaan dunia. Indonesia akan menghadapi kenyataan semakin berkembangnya kebudayaan Amerika, Eropa, Arab, China, Jepang, Korea, India, dan sebagainya. Keanekaan tidak hanya antarsuku bangsa yang telah ada, tetapi dengan kebudayaan bangsa lain.

Jadi konsep kebangsaan zaman kini mungkin haruslah menjadi suatu konsep yang terbuka dan semakin menuju pada semangat internasionalisme yang merujuk pada perdamaian dunia. Selaras dengan apa yang dikatakan Confucius bahwa Semua Manusia adalah Bersaudara (All Men are Brothers and Sisters).

Oleh Kristan

Penulis adalah Ketua Generasi Muda Khonghucu (GEMAKU)