Sunday, November 12, 2006

DISKRIMINASI DALAM PENGANGKATAN PAHLAWAN ?

Tahun ini pemerintah mengumumkan pengangkatan tambahan 8 pahlawan baru
melengkapi pahlawan nasional yang telah berjumlah 129 orang. Namun pada
daftar itu terdapat seorang pun pahlawan yang berasal dari etnis Tionghoa.
Memang ada tokoh yang telah memperoleh bintang jasa seperti Rudy Hartono.
Namun belum ada sampai sekarang pahlawan nasional dari komunitas ini.

Kenyataan ini menimbulkan tanda tanya apakah masih terdapat diskriminasi
dalam pengangkatan pahlawan nasional? Di media seperti surat kabar dan
majalah sudah berulang kali ditulis misalnya tentang kepahlawanan Mayor
John Lie dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Bahkan sebuah buku
yang disunting Kusniyati Mochtar dan diberi pengantar Ali Alatas,
mengungkapkan secara panjang lebar peran John Lie dalam menembus blokade
Belanda setelah Indonesia merdeka (Memoar Pejuang Republika Indonesia
seputar 'Zaman Singapura' 1945-1950, Gramedia Pustaka Utama, 1992).

John Lie adalah mualim pada kapal pelayaran niaga milik Belanda KPM yang
kemudian bergabung dengan Angkatan Laut RI. Pada mulanya ia bertugas di
Cilacap dengan pangkat kapten. Di pelabuhan ini selama beberapa bulan ia
berhasil membersihkan ranjau yang ditanam oleh Jepang untuk menghadapi
pasukan Sekutu. Atas jasanya ini pangkatnya dinaikkan menjadi mayor.
Selanjutnya ia ditugaskan untuk mengamankan pelayaran kapal yang
mengangkut komoditi ekspor Indonesia untuk diperdagangkan di luar negeri
dalam rangka mengisi kas negara yang masih tipis waktu itu. Pada masa
awal (tahun 1947) ia pernah mengawal yang membawa karet seberat 800 ton
untuk diserahkan kepada Kepala Perwakilan RI di Singapura, Utoyo Ramelan.
Sejak itulah ia secara rutin melakukan operasi menembus blokade Belanda.
Karet atau hasil bumi lain dibawa ke Singapura untuk dibarter dengan
senjata. Senjata yang mereka peroleh kemudian diserahkan kepada pejabat
republik yang ada di Sumatera seperti Bupati Riau sebagai sarana
perjuangan melawan tentara Belanda. Perjuangan mereka tidak ringan karena
selain menghindari patroli Belanda, juga harus menghadang gelombang
samudera Hindia yang relatif besar untuk ukuran kapal yang mereka
pergunakan. Pada awal 1950 ketika berada di Bangkok ia dipanggil pulang
ke Surabaya oleh KSAL Subiyakto dan ditugaskan menjadi komandan kapal
perang Rajawali. Pada masa berikut ia aktif dalam penumpasan RMS di
Maluku dan kemudian PPRI/Permesta. John Lie yang dikenal juga dengan nama
Jahya Daniel Dharma tetap berdinas di Angkatan Laut, terakhir dengan
pangkat laksamana muda.

Adanya "wakil" Tionghoa dalam daftar pahlawan nasional sangat penting
dalam rangka memasukkan semua komponen bangsa dalam perjuangan nasional.
Tidak ada komunitas atau golongan yang disingkirkan atau dipinggirkan.
Ini merupakan keniscayaan dalam proses membangun bangsa (nation
building). Apalagi fakta sejarah menunjukkan bahwa di kalangan etnis
Tionghoa ada yang pantas dijadikan pahlawan nasional.
Seyogianya pemerintah dalam hal ini Direktorat Sejarah pada Departemen
Sosial mencoba kreatif dan bersedia melakukan terobosan. Secara prosedur
standar, calon pahlawan itu harus diusulkan oleh daerah. Seorang pejuang
asal Minangkabau, Bagindo Azis Chan diusulkan oleh pemerintah daerah
Sumatera Barat. Demikian pula tokoh-tokoh asal Bugis/Makasar dicalonkan
oleh Sulawesi Selatan. Jawa Barat sangat getol mengusulkan calon pahlawan
yang berasal dari etnis Sunda atau pernah berkiprah di daerah ini.
Persoalannya etnis Tionghoa itu tersebar di mana-mana di seluruh
Indonesia. Mereka harus dicalonkan dari daerah mana ?
Masih banyak hambatan dalam prosedur, kriteria dan komposisi tim penilai
calon pahlawan nasional tersebut. Namun semuanya ini jangan sampai
menimbulkan diskriminasi sejarah bahwa pejuang kemerdekaan dari etnis
Tionghoa tidak layak jadi pahlawan nasional.

Sebetulnya kehadiran "wakil" Tionghoa dalam daftar pahlawan itu bukan
sekedar melengkapi "album bangsa". Namun sebetulnya terkandung juga
tujuan strategis lainnya. Di dalam penelitian yang dilakukan oleh Benny
Subianto tentang "Asal Usul Kekerasan terhadap Etnis Tionghoa" yang
dilakukan pada tiga daerah yaitu Sumatera Utara, Kalimantan Barat dan
Sulawesi Selatan sementara ini disimpulkan bahwa ada tiga penyebab
terjadi kekerasan tersebut yakni a) Etnis Tionghoa masih dianggap "the
other" (orang lain) bagi sebagian besar penduduk Indonesia, b)
kesenjangan ekonomi, c) karena etnis Tionghoa tidak ikut dalam perjuangan
kemerdekaan Indonesia. Dengan memasukkan wakil Tionghoa dalam daftar
pahlawan, maka salah satu faktor negatif penyebab kekerasan telah
dihilangkan atau direduksi.


Oleh Asvi Warman Adam
(Dr Asvi Warman Adam, Ahli Peneliti Utama LIPI)

No comments: