Monday, June 25, 2007

Horor Fantasi Rasis

oleh
Robertus Robet, KANDIDAT DOKTOR DI SEKOLAH TINGGI FILSAFAT DRIYARKARA


Sebuah fakta ironis dalam sejarah politik Indonesia bahwa hampir setiap perubahan politik sering didahului dengan kekerasan rasial terhadap etnis minoritas Tionghoa. Bagaimana kemungkinan berulangnya sejarah dan tragedi yang sama dapat kita hindari di masa depan? Untuk memahami ini, kita akan meminta bantuan pandangan Hegelo-Lacanian Slavoj Zizek.
Fantasi bukanlah upaya merealisasi hasrat secara halusinatif. Ia membentuk hasrat, menyediakan kerangka koordinat, bahkan mengajari kita bagaimana berhasrat. Fantasi secara sederhana, bukan soal kalau saya menginginkan semangkuk bubur dan tidak mendapatkannya dalam kenyataan, saya berfantasi makan semangkuk bubur. Ini bukan fantasi. Sebaliknya, fantasi berurusan dengan pertanyaan bagaimana saya tahu bahwa saya menginginkan semangkuk bubur? Fantasi memberi tahu saya mengapa saya ingin makan bubur. (Zizek, 1997, The Plague of Fantasies, halaman 7).
Pada titik ini, sebagaimana Lacan, Zizek mengatakan bahwa fantasi selalu muncul dalam hubungan atau bersifat intersubyektivitas. Lacan mengatakan bahwa hasrat yang terpenuhi dalam fantasi bukanlah milik subyek, tapi selalu milik the other. Fantasi adalah respons subyek terhadap pertanyaan "apa yang kamu inginkan dariku". Dengan itu, fantasi membentuk identitas "aku di hadapan tatapan yang lain", aku selaku obyek dari hasrat yang lain.
Rasisme selalu berurusan dengan fantasi. Dalam praktek sehari-hari, misalnya, dalam kasus keturunan Tionghoa menjadi sasaran. Fantasi rasis bekerja dengan cara dan dimulai dengan sangkaan, misalnya Cina ini mencurigakan, saya tidak tahu apa yang dia inginkan, maka saya kemudian menciptakan sebuah skenario mengenai hidden agenda. Saya merancang sebuah pikiran--tanpa perlu asosiasi apa pun--bahwa Cina ini serakah, tamak, dan mau mencuri harta kekayaan bangsa saya. Sangkaan dan fantasi ini saya bawa setiap hari.
Yang menjadi soal di sini kemudian, apakah dengan mengenal dan memahami si Cina secara lebih dalam, akan dengan serta-merta menghilangkan sikap dan prasangka rasis saya? Menurut Zizek, meski telah memahami secara sungguh-sungguh apa, siapa, dan bagaimana si Cina, saya tetap akan jadi seorang bajingan rasis. Mengapa? Di sinilah fungsi fantasi itu bekerja. Cara saya memandang si Cina bukan mengarah pada persoalan realitas yang obyektif atau bukan. Saya memandang melalui sudut pandang fantasi. Di sini saya tidak dapat mengkontraskan realitas yang sebenarnya dengan fantasi saya. Sebab, kerangka fantasi saya mendahului membentuk dan mendasari realitas.
Dua tahap
Di sini terdapat dua tahap atau dua jenis fantasi rasis. Pertama, yang berakar dari dugaan bahwa the other menginginkan apa yang saya nikmati dan bahwa the other selalu menggunakan cara-cara yang aneh dalam memuaskan hasrat atau memiliki hasrat yang asing bagi saya (Zizek, dalam Tony Myers, 2003, halaman 105).
Pada tahap kedua, lebih jauh lagi, sering kali rasisme juga merefleksikan ketegangan dan konflik antarfantasi. Apa yang menjadi fantasi si asing bertentangan dengan apa yang menjadi fantasi kelompok saya. Jadi seorang rasis Jakarta, misalnya, akan dengan segera merasa terganggu dan bereaksi apabila melihat seorang Cina berjalan dengan berpotongan rambut atau pakaian ngejreng. Si Cina, dalam sudut pandang konvensional rasis Jakarta, dianggap tidak tahu bagaimana bergaya sesuai dengan fantasi gaya hidup saya. Dengan demikian, cara pakaian dan potongan rambut semacam itu akan segera dianggap sebagai ancaman bagi kehidupan budaya orang Indonesia.
Lantas bagaimana konflik antarfantasi ini dapat diredakan? Zizek mengajukan dua upaya untuk melampaui fantasi rasis ini. Pertama, dengan melakukan oposisi, bukan oposisi kepada negara, melainkan kepada civil society sendiri. Dalam pengalaman Slovenia, Zizek melihat bahwa dalam suatu keadaan ketika civil society dipengaruhi oleh politik sayap kanan dan rasisme merebak di masyarakat, civil society mustahil dijadikan sandaran bagi penghancuran fantasi rasis. Di sini negara kembali harus diajak untuk mengambil peranan.
Namun, kemudian yang menjadi soal adalah, dalam berbagai kasus, fantasi rasis juga mengindikasikan semacam hasrat si rasis untuk mengatakan bahwa "seandainya si Cina, si Arab, si Jepang, si bule tidak di sini, hidup pasti akan lebih baik, masyarakat saya pasti akan lebih harmonis". Dalam kasus semacam ini, sehebat apa pun negara berperan, fantasi rasis tidak dapat dihapuskan karena berakar pada eksistensi the other dan harapan yang lebih besar mengenai ideal masyarakat utuh. Sebagai contoh, Orde Baru selalu mengulang-ulang secara periodik pernyataan dan imbauan bahwa golongan minoritas Tionghoa mesti melakukan pembauran. Biasanya diajukan di depan para konglomerat Tapos.
Imbauan semacam ini sebenarnya tidak sekadar dimaksudkan sebagai upaya untuk benar-benar meminta partisipasi minoritas sebagaimana warga yang lain. Yang lebih gawat dari situ dan yang sebenarnya terjadi adalah dengan itu Soeharto hendak membangun sebuah pandangan bahwa pada dasarnya negara dan bangsa kita ini sudah bersatu, tapi dalam realitas selalu menjadi kurang bersatu karena adanya unsur Tionghoa yang selalu gagal untuk bersatu dan membaur. Soeharto memandang bahwa masyarakat Indonesia sejatinya adalah harmonis. Kalau ada masalah, yang bikin masalah pasti Cina. Kalau ada komunis, itu dulu gara-gara Cina. Kalau ada kesenjangan, kaya-miskin, karena ada kapitalis Cina. Kalau pembangunan ada kekurangan, ya, karena masih ada unsur Cina yang kurang sadar berwarga negara.
Jadi di sini Cina dipertahankan, tapi sekaligus dipakai secara instrumental sebagai semacam kambing hitam abadi. Di titik ini, konglomerat Cina adalah bagian atau etalase yang mesti terus dipelihara dan ditonjolkan dalam sistem patronase ekonomi Orde Baru, karena ia berfungsi untuk tetap memelihara jalannya skenario bahwa negara dan bangsa pada dasarnya harmonis, ekonomi juga maju. Yang bikin kacau dan tidak maju, ya, Cina yang kaya raya.
Di titik ini, fantasi rasis mulai bergeser dari tingkat intersubyektif mengarah pada persoalan kegagalan dalam memandang ketaksempurnaan masyarakat. Di sini, persis sebagaimana ditekankan oleh Zizek bahwa the fantasy racist figure is just a way of covering up the impossibility of a whole society or an organic Symbolic Order complete unto itself (Zizek, dalam Myers, halaman 108).
Di titik ini, kegagalan menerima kenyataan ketaklengkapan masyarakat membentuk suatu pandangan rasis dalam kerangka mencari sandaran dan kambing hitam atas fakta kekosongan dramatis ini. Di sini Cina, Yahudi, atau Arab tidak lebih diambil secara instrumen untuk memenuhi skenario masyarakat harmonis itu. Sumber inspirasi rasis berasal dari suatu mekanisme yang jauh lebih kompleks, mapan, dan masif karena menyangkut pandangan hampir semua anggota masyarakat mengenai masyarakat itu sendiri. Artinya, selama masih ada ilusi mengenai masyarakat organis yang harmonis dan utuh, selama itu pula pencarian mekanisme kambing hitam dan fantasi rasis itu bekerja. Fantasi rasis di sini berakar dalam kegagalan permanen masyarakat yang menjadikan dirinya total.
Penutup
Sejarah kontemporer kita tahun-tahun belakangan ini dipenuhi dengan berbagai ketegangan, dari Kalimantan, Ambon, hingga Poso. Kekejaman dalam konflik dan ketegangan ini secara paradoksal telah menghadirkan semacam kesaksian brutal tapi produktif bahwa masyarakat kita sesungguhnya selalu bergolak dan tidak pernah utuh. Ilusi kesatuan organik yang dipelihara semenjak Orde Baru memakan dirinya sendiri dan menghamparkan kepada kaum rasis bahwa whether they (Cina, Arab, Dayak, Madura, dan lain-lain) are here or not, society is always-already divided. Negativitas sebagaimana ditekankan Hegel secara nyata menghadirkan semacam kelegaan dan kesadaran baru yang bisa kita pakai untuk meluruhkan fantasi rasis melalui pemaparan faktual bahwa terlepas ada Cina atau tidak, ternyata masyarakat kita memang bopeng dan bergolak.
Dan karena masyarakat kita selalu bopeng, totalitas organik adalah tidak mungkin. Akhirnya, sikap terbaik dalam membangun hidup bersama adalah dengan menyadari bahwa setiap kelompok selalu memiliki kekurangan dan masyarakat sendiri selalu compang-camping. Di sini solidaritas baru dan nasionalitas harus dibentuk, bukan berdasarkan ilusi transendental akan kesamaan dan keseragaman, melainkan atas dasar perbedaan.

No comments: