Monday, June 25, 2007

Kaum Muda Tionghoa Maju dan Berkembang

http://dwelle.de/indonesia/panorama/1.214890.1.html

Pembuat film, Indonesian Idol, model dan petinju. Inilah wajah-wajah segarkomunitas muda Tionghoa.Kaum peranakan muda ini memanfaatkan kebebasan politik yang tercipta begiturezim Soeharto jatuh. Bagi orangtua mereka yang mesti hidup di bawahtekanan, situasi sekarang sungguh luar biasa, meski mereka juga tetapkhawatir. Charlotte Setiadi melakukan studi mengenai generasi muda Tionghoa.Charlotte Setiadi: “Saya dalah peneliti dari La Trobe University. Minat sayaadalah untuk meriset mengenai generasi muda Tionghoa yang ada di masa pascaSoeharto ini. Generasi muda Tionghoa yang ada punya banyak kesempatan untuklakukan banyak hal yang generasi sebelumnya tidak bisa lakukan. Merekasekarang bisa ekspresikan diri lebih dari yang generasi sebelumnya.“Selain Charlotte ada lagi Arianna Dharmawan atau Rani, bagian dari generasimuda Thionghoa. Ia menelusuri minat barunya soal identitas budaya lewatfilm. Rani adalah penggagas kelompok VideoBabes di Bandung, Jawa Baratsekaligus pembuat film independen yang sukses.Di sebuah kafe di salah satu mal Jakarta yang penuh hiasan Tahun Baru Imlek,Rani bercerita, dia pernah tidak bahagia dengan jati dirinya.Rani: “Dulu saya benci dengan kenyataan. Saya gak suka, malah saya maludengan kenyataan saya orang Tionghoa. Mungkin karena keluarga sayaperanakan, lebih merasa Indonesia dibandingkan Cina, tidak pernah merayakantahun baru Cina, tidak punya nama Cina. Saya menjadi memalukan lah jadiorang Cina. Itu cukup lama saya merasa seperti itu. Hingga saya mengubahenergi saya, dari marah ke dendam, menjadi bangga. Karena.. untuk apa kitadendam pada diri kita sendiri? Lebih baik kita mengubah itu jadi sebuahjustru kebanggaan.“Setiap film yang dibuat, kata Rani, adalah upaya mengobati diri sendiri.Sebuah musik menginspirasi Rani membuat dokumenter berjudul ‘Anak NagaBeranak Naga’.Rani: „Itu adalah sebuah dokumenter yang bercerita tentang musik gambangkromong. Yang diangkat adalah akulturasi budaya Tionghoa dan Betawi. Inipenting, lihat, mereka bisa bersatu, bisa berbaur, bahkan membuat kebudayaanbaru yang luar biasa.Kata Rani, dokumenternya bisa meruntuhkan cap tentang komunitas Tionghoayang tinggal di daerah kumuh dan tidak berbaur dengan warga lainnya.Di era baru kebebasan budaya seperti sekarang, banyak peranakan yangberusaha menghidupkan kembali budaya nenek moyang mereka. Goenawan berasaldari Bina Nusantara Mandarin Club, BNMC, yang didirikan tahun 2000.Goenawan: “Untuk tertarik bahasa Mandarin sih udah dari kecil. Perekonomian.Di dunia itu kan hampir dikuasai Cina. Setelah zaman Pak Soeharto itu,banyak minat anak muda Tionghoa itu bersikeras untuk bangun kembalikebudayaannya yang hilang. Contohnya BNMC, ingin kebmalikan tradisiTionghoa. Kebudayaan Tionghoa kan tiba-tiba hilang. Kan aneh gitu. Jadi pasdatang, ini kesempatan kita untuk membangun kembali.“Tapi tidak semua anak muda di komunitas itu merasa hal yang sama. Sepertidisampaikan Irvan Wibowo dari Jaringan Tionghoa Muda.Irvan Wibowo: „Beberapa generasi di atas saya tidak bisa berbahasa Mandarin,segala bahasa Cina. Hanya bisa bahasa Jawa. Keluarga-keluarga yang tingkatanOma segala memang pakai kebaya, kira-kira gitu.”Irvan sering mendapat pertanyaan, apakah dia merasa sebagai orang Indonesiaatau Tionghoa? Bagi Irvan, pertanyaan itu tak penting. Bahkan tak usahditanyakan. Ia percaya, yang lebih penting adalah penghargaan terhadap hakasasi manusia.Banyak peranakan di Tionghoa usia 20-30-an tahun asyik mengeksplorasikebebasan budaya yang kini mereka nikmati setelah runtuhnya rezim Soeharto.Para orangtua punya pendapat yang berbeda-beda seputar kebebasan baru ini.Mereka kerap mewanti, ‘hati-hati’, ‘jangan keterlaluan’. Kembali Charlotte.Charlotte Setiadi: “Itu menurut saya representatif sekali. Bahwa masyarakatTionghoa punya pendapat beragam. Ini bagus sekali dan ini yang perludketahui. Gak semua masyarakat Tionghoa itu, ayo kita bergandengan tanganmenuju ke satu titik. Enggak. Dan semua orang punya cara yang beda-beda.Ekspresi diri itu kan pribadi, beda-beda. Apakah itu lewat bahasa,mendengarkan lagu Mandarin, apakah itu lewat nonton Meteor Garden, punyapotongan rambut F4, itu kan sesuatu yang relatif pada setiap orang.”Tersembunyi di sebuah jalan yang sempit terletak Klenteng Petak Sembilan,di tengah keramaian Glodok, Jakarta Pusat. Lentera merah tampakberderet-deret, wangi hio menyambut pengunjung yang datang.Di salah satu pojokan, seorang laki-laki tua membaca doa demi hal-hal baikdi Tahun Babi ini. Dia sangat senang, komunitasnya bisa bebas merayakanTahun Baru Imlek.Yongkwan Pow: “Saya namanya Yong Kwan Pow. Asal dari Banda Aceh. Sekarangtahun 18 tahun masuk Jakarta. Sekarang sudah umur 71. Dulu tidak bebas.Imlek tidak boleh pesta. Presiden Gus Dur yang terhormat jadi presiden, jadibebas sampai sekarang. Jadi boleh ada Mandarin, dulu tidak bisa. Duluseperti apa bisa cerita sedikit di tahun 60-an, 90-an? Itu tidak bolehbicara. Jangan. Jangan. Bahaya.“Binar kecemasan masih tampak di wajah laki-laki tua itu ketika wawancaradilakuan. Ia terlihat gelisah dan menengok kiri-kanan, mencari tahu apakahada yang mendengar percakapan tersebut.Di bagian lain klenteng ini, ada Sharma Nuriadi. Dia bercerita soaldiskriminasi dan kekerasan yang dihadapi komunitas Tionghoa.Sharma Nuriadi: "Waktu G30S, ya itu ada juga. Kita juga ada. Itu banyak, kantakut ada kejadian, pergolakan. Seperti toko-toko dibakar, diambil. Banyak,kita gak boleh cerita habis-habisan, ntar gak enak. Saya rasa wartawan diAustrali lebih mengerti daripada wartawan di sini. Banyak orang diperkosa."Meski ia sangat senang akan hilangnya pembatasan-pembatasan terhadapkomunitas Tionghoa, ia mewanti generasi muda.Sharma Nuriadi: „Tapi sekarang udah kebuka gini kita udah enak lagi. Tapikita sebagai warga negara harus hati-hati lah. Jangan sepserti sekarangsudah bebas, kita berlebihan. Kalau bisa jangan. Itu jangan kalo bisa.Jangan terlalu meliwati batas. Sekarang sudah boleh, tradisi sudah boleh,jadi jangan terlalu berlebihan, misalnya begini begitu.“Selalu ada ketakutan, kata dia, bahwa mereka bakal kembali menjadi target.Charlotte Setiadi dan Rani paham juga soal itu.Charlotte Setiadi: "Kamu udah lah yang aman-aman aja. Ngapain sihbalik-balik ke Indonesia neliti ginian."Rani: "Dia bangga, itu terlihat bahwa dia bangga. Di lain pihak, dia juga..jangan terlaul.. dia juga ada rasa takut. Apalagi ibu saya, dia suka takut.Apa-apa takut. Ati-ati kamu jangan terlalu menonjol.. nanti kamudimacem-macemin. Mungkin itu terjadi juga pada mereka pada tahun 60. Merekaselalu berusaha di bawah radar. Kalau saya sendiri, saya merasa saya adabatasnya juga. Karena saya gak mau seperti film saya dibikin sepertipropaganda. Bahwa “ini adalah milik Tionghoa”. Yang saya inginkan adalahmilik bersama dan pembaurannya, gimana mereka bercampur, justru itu yangingin saya tunjukkan."Rani berpendapat, soal diskriminasi terhadap keturunan Tionghoa akan terusmenjadi perdebatan hangat. Juga soal identitas dan minat-minat baru akankebudayaan kuno Cina. Semua memberi inspirasi bagi film-film yang digarapRani.Rani: "Mungkin ini jadi inspirasi karena saya merasa masih dibedakan. Kadangbenar, ktia ingin jadi orang Indonesia. Tapi bagaimana pun juga, tidak bisadihilangkan kalau kita orang Tionghoa. Keturunan Tionghoa. Yang sebetulnya,yang kami inginkan, kami dianggap memiliki kewarganegaraan yang sama. Adasuku Jawa, ada suku Batak, tentu saja itu menjadi sebuah pride, sebuahkebanggaan."

Horor Fantasi Rasis

oleh
Robertus Robet, KANDIDAT DOKTOR DI SEKOLAH TINGGI FILSAFAT DRIYARKARA


Sebuah fakta ironis dalam sejarah politik Indonesia bahwa hampir setiap perubahan politik sering didahului dengan kekerasan rasial terhadap etnis minoritas Tionghoa. Bagaimana kemungkinan berulangnya sejarah dan tragedi yang sama dapat kita hindari di masa depan? Untuk memahami ini, kita akan meminta bantuan pandangan Hegelo-Lacanian Slavoj Zizek.
Fantasi bukanlah upaya merealisasi hasrat secara halusinatif. Ia membentuk hasrat, menyediakan kerangka koordinat, bahkan mengajari kita bagaimana berhasrat. Fantasi secara sederhana, bukan soal kalau saya menginginkan semangkuk bubur dan tidak mendapatkannya dalam kenyataan, saya berfantasi makan semangkuk bubur. Ini bukan fantasi. Sebaliknya, fantasi berurusan dengan pertanyaan bagaimana saya tahu bahwa saya menginginkan semangkuk bubur? Fantasi memberi tahu saya mengapa saya ingin makan bubur. (Zizek, 1997, The Plague of Fantasies, halaman 7).
Pada titik ini, sebagaimana Lacan, Zizek mengatakan bahwa fantasi selalu muncul dalam hubungan atau bersifat intersubyektivitas. Lacan mengatakan bahwa hasrat yang terpenuhi dalam fantasi bukanlah milik subyek, tapi selalu milik the other. Fantasi adalah respons subyek terhadap pertanyaan "apa yang kamu inginkan dariku". Dengan itu, fantasi membentuk identitas "aku di hadapan tatapan yang lain", aku selaku obyek dari hasrat yang lain.
Rasisme selalu berurusan dengan fantasi. Dalam praktek sehari-hari, misalnya, dalam kasus keturunan Tionghoa menjadi sasaran. Fantasi rasis bekerja dengan cara dan dimulai dengan sangkaan, misalnya Cina ini mencurigakan, saya tidak tahu apa yang dia inginkan, maka saya kemudian menciptakan sebuah skenario mengenai hidden agenda. Saya merancang sebuah pikiran--tanpa perlu asosiasi apa pun--bahwa Cina ini serakah, tamak, dan mau mencuri harta kekayaan bangsa saya. Sangkaan dan fantasi ini saya bawa setiap hari.
Yang menjadi soal di sini kemudian, apakah dengan mengenal dan memahami si Cina secara lebih dalam, akan dengan serta-merta menghilangkan sikap dan prasangka rasis saya? Menurut Zizek, meski telah memahami secara sungguh-sungguh apa, siapa, dan bagaimana si Cina, saya tetap akan jadi seorang bajingan rasis. Mengapa? Di sinilah fungsi fantasi itu bekerja. Cara saya memandang si Cina bukan mengarah pada persoalan realitas yang obyektif atau bukan. Saya memandang melalui sudut pandang fantasi. Di sini saya tidak dapat mengkontraskan realitas yang sebenarnya dengan fantasi saya. Sebab, kerangka fantasi saya mendahului membentuk dan mendasari realitas.
Dua tahap
Di sini terdapat dua tahap atau dua jenis fantasi rasis. Pertama, yang berakar dari dugaan bahwa the other menginginkan apa yang saya nikmati dan bahwa the other selalu menggunakan cara-cara yang aneh dalam memuaskan hasrat atau memiliki hasrat yang asing bagi saya (Zizek, dalam Tony Myers, 2003, halaman 105).
Pada tahap kedua, lebih jauh lagi, sering kali rasisme juga merefleksikan ketegangan dan konflik antarfantasi. Apa yang menjadi fantasi si asing bertentangan dengan apa yang menjadi fantasi kelompok saya. Jadi seorang rasis Jakarta, misalnya, akan dengan segera merasa terganggu dan bereaksi apabila melihat seorang Cina berjalan dengan berpotongan rambut atau pakaian ngejreng. Si Cina, dalam sudut pandang konvensional rasis Jakarta, dianggap tidak tahu bagaimana bergaya sesuai dengan fantasi gaya hidup saya. Dengan demikian, cara pakaian dan potongan rambut semacam itu akan segera dianggap sebagai ancaman bagi kehidupan budaya orang Indonesia.
Lantas bagaimana konflik antarfantasi ini dapat diredakan? Zizek mengajukan dua upaya untuk melampaui fantasi rasis ini. Pertama, dengan melakukan oposisi, bukan oposisi kepada negara, melainkan kepada civil society sendiri. Dalam pengalaman Slovenia, Zizek melihat bahwa dalam suatu keadaan ketika civil society dipengaruhi oleh politik sayap kanan dan rasisme merebak di masyarakat, civil society mustahil dijadikan sandaran bagi penghancuran fantasi rasis. Di sini negara kembali harus diajak untuk mengambil peranan.
Namun, kemudian yang menjadi soal adalah, dalam berbagai kasus, fantasi rasis juga mengindikasikan semacam hasrat si rasis untuk mengatakan bahwa "seandainya si Cina, si Arab, si Jepang, si bule tidak di sini, hidup pasti akan lebih baik, masyarakat saya pasti akan lebih harmonis". Dalam kasus semacam ini, sehebat apa pun negara berperan, fantasi rasis tidak dapat dihapuskan karena berakar pada eksistensi the other dan harapan yang lebih besar mengenai ideal masyarakat utuh. Sebagai contoh, Orde Baru selalu mengulang-ulang secara periodik pernyataan dan imbauan bahwa golongan minoritas Tionghoa mesti melakukan pembauran. Biasanya diajukan di depan para konglomerat Tapos.
Imbauan semacam ini sebenarnya tidak sekadar dimaksudkan sebagai upaya untuk benar-benar meminta partisipasi minoritas sebagaimana warga yang lain. Yang lebih gawat dari situ dan yang sebenarnya terjadi adalah dengan itu Soeharto hendak membangun sebuah pandangan bahwa pada dasarnya negara dan bangsa kita ini sudah bersatu, tapi dalam realitas selalu menjadi kurang bersatu karena adanya unsur Tionghoa yang selalu gagal untuk bersatu dan membaur. Soeharto memandang bahwa masyarakat Indonesia sejatinya adalah harmonis. Kalau ada masalah, yang bikin masalah pasti Cina. Kalau ada komunis, itu dulu gara-gara Cina. Kalau ada kesenjangan, kaya-miskin, karena ada kapitalis Cina. Kalau pembangunan ada kekurangan, ya, karena masih ada unsur Cina yang kurang sadar berwarga negara.
Jadi di sini Cina dipertahankan, tapi sekaligus dipakai secara instrumental sebagai semacam kambing hitam abadi. Di titik ini, konglomerat Cina adalah bagian atau etalase yang mesti terus dipelihara dan ditonjolkan dalam sistem patronase ekonomi Orde Baru, karena ia berfungsi untuk tetap memelihara jalannya skenario bahwa negara dan bangsa pada dasarnya harmonis, ekonomi juga maju. Yang bikin kacau dan tidak maju, ya, Cina yang kaya raya.
Di titik ini, fantasi rasis mulai bergeser dari tingkat intersubyektif mengarah pada persoalan kegagalan dalam memandang ketaksempurnaan masyarakat. Di sini, persis sebagaimana ditekankan oleh Zizek bahwa the fantasy racist figure is just a way of covering up the impossibility of a whole society or an organic Symbolic Order complete unto itself (Zizek, dalam Myers, halaman 108).
Di titik ini, kegagalan menerima kenyataan ketaklengkapan masyarakat membentuk suatu pandangan rasis dalam kerangka mencari sandaran dan kambing hitam atas fakta kekosongan dramatis ini. Di sini Cina, Yahudi, atau Arab tidak lebih diambil secara instrumen untuk memenuhi skenario masyarakat harmonis itu. Sumber inspirasi rasis berasal dari suatu mekanisme yang jauh lebih kompleks, mapan, dan masif karena menyangkut pandangan hampir semua anggota masyarakat mengenai masyarakat itu sendiri. Artinya, selama masih ada ilusi mengenai masyarakat organis yang harmonis dan utuh, selama itu pula pencarian mekanisme kambing hitam dan fantasi rasis itu bekerja. Fantasi rasis di sini berakar dalam kegagalan permanen masyarakat yang menjadikan dirinya total.
Penutup
Sejarah kontemporer kita tahun-tahun belakangan ini dipenuhi dengan berbagai ketegangan, dari Kalimantan, Ambon, hingga Poso. Kekejaman dalam konflik dan ketegangan ini secara paradoksal telah menghadirkan semacam kesaksian brutal tapi produktif bahwa masyarakat kita sesungguhnya selalu bergolak dan tidak pernah utuh. Ilusi kesatuan organik yang dipelihara semenjak Orde Baru memakan dirinya sendiri dan menghamparkan kepada kaum rasis bahwa whether they (Cina, Arab, Dayak, Madura, dan lain-lain) are here or not, society is always-already divided. Negativitas sebagaimana ditekankan Hegel secara nyata menghadirkan semacam kelegaan dan kesadaran baru yang bisa kita pakai untuk meluruhkan fantasi rasis melalui pemaparan faktual bahwa terlepas ada Cina atau tidak, ternyata masyarakat kita memang bopeng dan bergolak.
Dan karena masyarakat kita selalu bopeng, totalitas organik adalah tidak mungkin. Akhirnya, sikap terbaik dalam membangun hidup bersama adalah dengan menyadari bahwa setiap kelompok selalu memiliki kekurangan dan masyarakat sendiri selalu compang-camping. Di sini solidaritas baru dan nasionalitas harus dibentuk, bukan berdasarkan ilusi transendental akan kesamaan dan keseragaman, melainkan atas dasar perbedaan.