Sunday, November 12, 2006

Lee dan Perjuangan Melawan Diskriminasi


Menteri mentor Singapura Lee Kuan Yew, dalam sebuah forum tentang good governance di Singapura, membuat pernyataan yang membuat gerah pemerintah Malaysia dan Indonesia. Ia menilai kedua pemerintah bersikap diskriminatif terhadap etnis Tionghoa.
Menurut Lee, Malaysia dan Indonesia juga ingin Singapura selalu mengalah seperti orang-orang Tionghoa di kedua negara tersebut. Yang paling membuat tersinggung kedua pemerintah, Lee di antaranya menyebut "di Indonesia dan Malaysia orang-orang Tionghoa adalah pekerja keras dan orang-orang yang berhasil, namun mereka dimarjinalkan secara sistematis" (The Straits Times,16 September 2006).
Ucapan itu ibarat membakar ilalang di musim kemarau. Publik Malaysia sangat marah, seperti tampak dari responden Berita Harian yang sekitar 88%-nya menuntut Lee segera meminta maaf, sedang sisanya 12% tak mau lagi memaafkan mantan Perdana Menteri Singapura itu.
Syukurlah, di koran Straits Times, edisi 3 Oktober 2006 Lee yang pernah tinggal di Surabaya itu langsung meminta maaf pada PM Malaysia. Lee mengaku tidak bermaksud mencampuri urusan dalam negeri Malaysia maupun Indonesia. Sebelumnya, Lee juga mengirim surat pribadi kepada PM Ahmad Badawi.
Publik kita, khususnya media kita, tampaknya tidak mau mem-blow up omongan Lee. Boleh jadi ini mempertimbangkan nilai sensitivitasnya. Meski begitu, Deplu RI tetap meminta klarifikasi tentang pernyataan tersebut. Dan omongan itu toh dijadikan diskusi di berbagai tempat, seperti di Surabaya.
Ada beberapa hal menarik terkait ucapan Lee tersebut. Pertama-tama, omongan itu ada benarnya, tapi juga salah sasaran jika yang dimaksud Lee dengan pemerintah Indonesia adalah pemerintahan Yudhoyono. Dalam dua tahun pemerintah Yudhoyono, etnis Tionghoa tidak merasa dimarjinalkan, tapi justru merasa dirangkul sebagai bagian integral bangsa ini.
Buktinya Yudhoyono sudah menandatangani UU No 12 tentang Kewarganegaraan pada awal Agustus 2006 yang sebelumnya sudah diresmikan DPR pada 11 Juli 2006. UU ini tampak menyatakan tidak ada pemisahan lagi antara yang Tionghoa dan bukan.

Orba Sangat Anti-Tionghoa
Kebijakan Yudhoyono itu tentu sesuai dengan semangat kebangsaan kita yang telah dipilih oleh para founding fathers kita bahwa Indonesia tidak berdasar pada ras atau etnis. Konsep kebangsaan kita memang tidak mempermasalahkan asal usul, keturunan, ras, etnisitas, warna kulit dan latar belakang lainnya.
Kini guna mendukung UU No 12 tahun 2006, juga tengah digodok Rancangan Undang-Undang Antidiskriminasi dan RUU Kependudukan dan Catatan Sipil. Ini jelas langkah positif. Ini untuk menunjukkan bahwa etnis Tionghoa bukan lagi "mereka" tapi "kita". Kebijakan pemerintahan Yudhoyono jelas harus diapresiasi.
Kedua, pernyataan Lee benar sekali jika yang dijadikan sasarannya adalah pemerintah Indonesia di masa Orba. Meski Lee sangat bersahabat dengan Soeharto, penguasa 32 tahun Orba, tapi boleh jadi kita sudah tahu bahwa di masa Soeharto justru terjadi diskriminasi dan marjinalisasi yang hebat terhadap etnis Tionghoa dalam 61 tahun negeri ini.
Soeharto memang merangkul para konglomerat Tionghoa, tetapi itu dilakukan sejauh menguntungkan bagi regim dan kroninya. Akibat dari kedekatan para konglomerat itu, jutaan Tionghoa yang melarat atau biasa-biasa hidupnya justru sering jadi sasaran kebencian dan dskriminasi di tingkat bawah.
Apalagi jika kita melihat jiwa Orba, sesungguhnya regim di bawah Soeharto itu sangat anti-Tionghoa. Ketika Orba mulai berkuasa tahun 1965, bersamaan dengan peristiwa 30 September 1965, etnis Tionghoa mulai terpinggirkan bahkan tiarap, apalagi etnis Tionghoa ditengarai temasuk dalam kubu PKI yang berorientasi ke Peking (RRT).
Kedekatan etnis Tionghoa dengan Soekarno, membuat Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia), sebagai media aspiratif etnis Tionghoa paling populer saat itu harus menerima kenyataan dibubarkan. Sejak peristiwa itu, hal-hal yang berbau Tionghoa ditabukan.
Di Jatim misalnya, Pangdam Brawijaya kala itu (1966) langsung mengeluarkan serangkaian peraturan yang sangat sinofobia (sangat anti-Tionghoa). Peredaran semua koran berbahasa Tionghoa dilarang, termasuk Harian Indonesia yang dikelola Angkatan Darat. Pangdam juga mengeluarkan empat kebijakan diskriminatif.
Pertama, mereka hanya diperbolehkan berdagang di Surabaya. Kota-kota lain di Jawa Timur tertutup bagi mereka. Kedua, mereka dilarang pindah keluar dari Jawa Timur. Ketiga, mereka yang tinggal di Jawa Timur dikenai pajak Rp 2.500 per orang. Keempat, melarang huruf atau apa pun yang berbau Cina atau Tionghoa.

KTP Jutaan Rupiah
Sudah barang tentu empat kebijakan itu menimbulkan gejolak yang luar biasa ketika itu. Setiap hari ribuan warga Tionghoa di kota-kota di Jatim berunjuk rasa. Konyolnya, demo itu juga direspons dengan demo tandingan yang anarkis dan sangat anti-Tionghoa.
Beribu-ribu pemuda yang bergabung dalam kesatuan aksi membakar pabrik, menjarah toko milik warga Tionghoa, dan melakukan tindakan tak terpuji lainnya yang amat memojokkan etnis Tionghoa.
Hal-hal seperti itu juga terjadi di banyak daerah di luar Jatim. Setiap warga Tionghoa yang ditemukan bisa dipukuli hingga babak-belur seperti dipaparkan Charles A. Coppel dalam bukunya, Tionghoa Indonesia dalam Krisis (Pustaka Sinar Harapan, 1994).
Kini dari sisi kebangsaan, etnis Tionghoa sudah dirangkul oleh pemerintah sebagai bagian integral bangsa ini. Tapi di dalam realita hidup sehari-hari memang tak mudah memupus diskriminasi. Para birokrat di dalam pemerintahan Yudhoyono sendiri juga masih ada yang bermental ala Orba atau penjajah, dengan selalu mempersulit etnis Tionghoa dalam mengurus surat-surat, entah untuk KTP, paspor atau akta kelahiran dan perkawinan.
Di Surabaya misalnya, sebagian warga Tionghoa bahkan bisa keluar jutaan rupiah untuk mengurus KTP.
Meski begitu, etnis Tionghoa jangan pernah berkecil hati untuk terus berani memerangi diskriminasi. Kita tidak bisa meminta pada Tuhan untuk dilahirkan sebagai etnis ini atau etnis itu. Kita juga tidak perlu mendiskriminasi orang yang mendiskriminasi kita sehingga kita bisa menghindari lingkaran seta kebencian.
Memang untuk mewujudkan masyarakat yang toleran dan bebas diskriminasi dibutuhkan perjuangan panjang.
Namun yang terpenting dari semua itu adalah bagaimana kita bisa terus bekerja memajukan bangsa ini lewat talenta dan apa yang ada pada diri kita. Jika Indonesia terus terjebak dalam konflik primordial entah karena ras atau agama, kita tidak akan pernah bisa meraih kejayaan.
Kita hanya akan menjadi bangsa terbelakang, karena soal ras atau agama terus-menerus dijadikan bahan peledak untuk memecah belah bangsa dan kemanusiaan. Mari kita buktikan bahwa perbedaan yang ada pada kita bisa menjadi rahmat bagi sesama, bukan laknat atau kutukan yang membuat kita makin tercerai berai.

Oleh
Tom S Saptaatmaja

Penulis adalah teolog dan aktivis Tionghoa Surabaya.

No comments: