Sunday, November 12, 2006

Diskriminasi,Kata Lee Kuan Yew

DALAM sebuah forum di negaranya, menteri mentor Singapura Lee Kuan Yew

menyatakan: Indonesia dan Malaysia mempunyai masalah dengan kaum Cina

karena mereka (orang Cina) itu sukses. Mereka adalah pekerja keras dan

dengan demikian mereka dipinggirkan secara sistematis. Pernyataan tersebut

sangat mengejutkan dan mendapat reaksi keras dari Malaysia.

Sebagai catatan pertama, dapat dikatakan bahwa di Singapura, etnis

Tionghoa memang tidak terpinggirkan karena merekalah yang mayoritas. Namun

bagaimana halnya dengan kelompok Melayu yang menjadi minoritas di sana?

Apakah kaum Melayu tidak merasa terpinggirkan? Apakah mereka tidak merasa

berada di emperan dan paviliun rumah orang Singapura? Semoga hal ini bisa

menjadi permenungan bagi menteri guru Singapura, Lee Kuan Yew.

Malaysia memang dalam struktur kebangsaannya mendasarkan diri atas

pengelompokan rasial atau etnis, sehingga jika berbicara tentang usaha

mencapai keharmonisan bangsa ada kemungkinan terdapat kebijakan yang

menyinggung masalah rasial, baik secara positif maupun negatif. Lain

halnya dengan Indonesia, yang mendasarkan paham kebangsaannya dalam

pengertian non-etnis (non-rasial), tetapi etis dan politis.

Kebangsaan atau nationhood Indonesia itu baru terbentuk dan dibentuk

secara bersama-sama-termasuk keturunan asing, seperti etnis Tionghoa-pada

hari pernyataan kemerdekaan Indonesia secara formal konstitusional 17

Agustus 1945. Ya, secara yuridis formal di dalam paham kebangsaan

Indonesia tidak terkandung diskriminasi rasial, meskipun dalam realitas

kehidupan sehari-hari diskriminasi rasial itu terjadi dan dirasakan oleh

warga keturunan Tionghoa, seirama dengan pasang-surut rasa kebangsaan

kita.

Keikutsertaan etnis Tionghoa dalam pembentukan kebangsaan Indonesia itu

telah dimulai dengan peran serta orang seperti Liem Koen Hian dan tiga

orang Tionghoa lainnya, yakni Oei Tjong Hauw, Oei Tiang Tjoei, dan Mr. Tan

Eng Hoa dalam keanggotaan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan

Kemerdekaan Indonesia). Usaha nation-building Indonesia ini dilanjutkan

Yap Tjwan Bing, Siaw Giok Tjhan, dan Tan Po Gwan, Auwjong Peng Koen, Yap

Thiam Hien, Oh Sien Hong, dan Thio Thiam Tjong. Generasi berikutnya adalah

K. Sindhunata dan Yunus Yahya beserta kawan-kawan. Mereka ini dalam waktu

dan caranya telah secara intens mengusahakan terbentuknya nation-building

Indonesia.

Pada zaman reformasi ini terjadi perkembangan yang positif dalam masalah

etnis Tionghoa di Indonesia. Tokoh nasional seperti Amien Rais bersama

PAN, Akbar Tandjung bersama Golkar, Megawati Soekarnoputri dengan PDI

Perjuangan, KH Abdurrahman Wahid dari NU, Ahmad Syafi'i Ma'arif dan Din

Syamsuddin bersama Muhammadiyah, mampu memberikan makna tentang kebangsaan

secara lebih jelas dan menyediakan ruang yang lebih luas, serta

menyejukkan kepada warga keturunan Tionghoa.

Berkat usaha dan inspirasi mereka itu, terjadilah kemajuan yang berarti

dalam perumusan perundang-undangan. Kata "asli" yang memang terdapat dalam

Undang-Undang Dasar 1945, yang bisa ditafsirkan sebagai diskriminasi

rasial, misalnya, dapat lebih diklarifikasi dan dijelaskan. Undang-Undang

Kewarganegaraan yang baru disahkan dapat merumuskan bagaimana kedudukan

warga Tionghoa sehingga dapat mengikat mereka dalam rasa kebangsaan yang

nir-diskriminatif. Perlu dicatat pula kesungguhan Slamet Effendy Yusuf,

anak NU di Golkar, dan tokoh-tokoh Tionghoa di DPR sekarang, seperti

Murdaya Widyawimarta Poo, Alvin Lie Ling Piao, Rudianto Tjen, Enggartiasto

Lukita, yang turut memperjuangkan UU Kewarganegaraan yang baru dan

disambut dengan baik oleh warga keturunan Tionghoa.

Proses legislasi masih akan dilanjutkan dengan pembahasan Rancangan

Undang-Undang Antidiskriminasi, yang menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia Hamid Awaludin akan diprioritaskan. Kemudian RUU Kependudukan dan

Catatan Sipil yang kini sedang dibahas untuk menggantikan undang-undang

yang berlaku sekarang yang secara kolonial memang bersifat rasial.

Demikian pula dengan pembahasan RUU Keimigrasian. Kalau ketiga rancangan

undang-undang tersebut nantinya disahkan menjadi undang-undang dan juga

mempunyai semangat dan jiwa seperti UU Kewarganegaraan ini, secara formal

yuridis masalah rasial di Indonesia akan teratasi dan wawasan kebangsaan

akan semakin bulat.

Setelah adanya undang-undang yang baik itu di kemudian hari, tergantung

bagaimana ini dilaksanakan di masyarakat. Semua undang-undang ini menjadi

penting justru pada saat bangsa Indonesia mengarah pada disintegrasi.

Kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana warga keturunan

Tionghoa dapat memahami undang-undang ini bersama-sama dengan warga yang

lain. Jangan sampai mereka, khususnya orang Tionghoa, hanya menuntut

haknya tetapi melalaikan kewajibannya. Bagaimana dalam masyarakat, etnis

Tionghoa ini memiliki rasa senasib dan sepenanggungan, serta solidaritas

nasional. Kemudian diharapkan pula bahwa masyarakat lainnya dapat menerima

kehadiran etnis Tionghoa ini secara ikhlas sebagai sesama warga sebangsa.

Karena hanya dengan sikap yang non-diskriminatif, rasial, dan etnislah

dapat dibangun nation-building Indonesia yang memenuhi tuntutan zaman

modern ini yang memenuhi tuntutan hak asasi, rule of law, dan dasar negara

hukum.

Oleh Harry Tjan Silalahi
Penulis dari CSIS (Centre for Strategic and International Studies)

No comments: