menyatakan: Indonesia dan Malaysia mempunyai masalah dengan kaum Cina
karena mereka (orang Cina) itu sukses. Mereka adalah pekerja keras dan
dengan demikian mereka dipinggirkan secara sistematis. Pernyataan tersebut
sangat mengejutkan dan mendapat reaksi keras dari Malaysia.
Sebagai catatan pertama, dapat dikatakan bahwa di Singapura, etnis
Tionghoa memang tidak terpinggirkan karena merekalah yang mayoritas. Namun
bagaimana halnya dengan kelompok Melayu yang menjadi minoritas di sana?
Apakah kaum Melayu tidak merasa terpinggirkan? Apakah mereka tidak merasa
berada di emperan dan paviliun rumah orang Singapura? Semoga hal ini bisa
menjadi permenungan bagi menteri guru Singapura, Lee Kuan Yew.
Malaysia memang dalam struktur kebangsaannya mendasarkan diri atas
pengelompokan rasial atau etnis, sehingga jika berbicara tentang usaha
mencapai keharmonisan bangsa ada kemungkinan terdapat kebijakan yang
menyinggung masalah rasial, baik secara positif maupun negatif. Lain
halnya dengan Indonesia, yang mendasarkan paham kebangsaannya dalam
pengertian non-etnis (non-rasial), tetapi etis dan politis.
Kebangsaan atau nationhood Indonesia itu baru terbentuk dan dibentuk
secara bersama-sama-termasuk keturunan asing, seperti etnis Tionghoa-pada
hari pernyataan kemerdekaan Indonesia secara formal konstitusional 17
Agustus 1945. Ya, secara yuridis formal di dalam paham kebangsaan
Indonesia tidak terkandung diskriminasi rasial, meskipun dalam realitas
kehidupan sehari-hari diskriminasi rasial itu terjadi dan dirasakan oleh
warga keturunan Tionghoa, seirama dengan pasang-surut rasa kebangsaan
kita.
Keikutsertaan etnis Tionghoa dalam pembentukan kebangsaan Indonesia itu
telah dimulai dengan peran serta orang seperti Liem Koen Hian dan tiga
orang Tionghoa lainnya, yakni Oei Tjong Hauw, Oei Tiang Tjoei, dan Mr. Tan
Eng Hoa dalam keanggotaan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia). Usaha nation-building Indonesia ini dilanjutkan
Yap Tjwan Bing, Siaw Giok Tjhan, dan Tan Po Gwan, Auwjong Peng Koen, Yap
Thiam Hien, Oh Sien Hong, dan Thio Thiam Tjong. Generasi berikutnya adalah
K. Sindhunata dan Yunus Yahya beserta kawan-kawan. Mereka ini dalam waktu
dan caranya telah secara intens mengusahakan terbentuknya nation-building
Indonesia.
Pada zaman reformasi ini terjadi perkembangan yang positif dalam masalah
etnis Tionghoa di Indonesia. Tokoh nasional seperti Amien Rais bersama
PAN, Akbar Tandjung bersama Golkar, Megawati Soekarnoputri dengan PDI
Perjuangan, KH Abdurrahman Wahid dari NU, Ahmad Syafi'i Ma'arif dan Din
Syamsuddin bersama Muhammadiyah, mampu memberikan makna tentang kebangsaan
secara lebih jelas dan menyediakan ruang yang lebih luas, serta
menyejukkan kepada warga keturunan Tionghoa.
Berkat usaha dan inspirasi mereka itu, terjadilah kemajuan yang berarti
dalam perumusan perundang-undangan. Kata "asli" yang memang terdapat dalam
Undang-Undang Dasar 1945, yang bisa ditafsirkan sebagai diskriminasi
rasial, misalnya, dapat lebih diklarifikasi dan dijelaskan. Undang-Undang
Kewarganegaraan yang baru disahkan dapat merumuskan bagaimana kedudukan
warga Tionghoa sehingga dapat mengikat mereka dalam rasa kebangsaan yang
nir-diskriminatif. Perlu dicatat pula kesungguhan Slamet Effendy Yusuf,
anak NU di Golkar, dan tokoh-tokoh Tionghoa di DPR sekarang, seperti
Murdaya Widyawimarta Poo, Alvin Lie Ling Piao, Rudianto Tjen, Enggartiasto
Lukita, yang turut memperjuangkan UU Kewarganegaraan yang baru dan
disambut dengan baik oleh warga keturunan Tionghoa.
Proses legislasi masih akan dilanjutkan dengan pembahasan Rancangan
Undang-Undang Antidiskriminasi, yang menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Hamid Awaludin akan diprioritaskan. Kemudian RUU Kependudukan dan
Catatan Sipil yang kini sedang dibahas untuk menggantikan undang-undang
yang berlaku sekarang yang secara kolonial memang bersifat rasial.
Demikian pula dengan pembahasan RUU Keimigrasian. Kalau ketiga rancangan
undang-undang tersebut nantinya disahkan menjadi undang-undang dan juga
mempunyai semangat dan jiwa seperti UU Kewarganegaraan ini, secara formal
yuridis masalah rasial di Indonesia akan teratasi dan wawasan kebangsaan
akan semakin bulat.
Setelah adanya undang-undang yang baik itu di kemudian hari, tergantung
bagaimana ini dilaksanakan di masyarakat. Semua undang-undang ini menjadi
penting justru pada saat bangsa Indonesia mengarah pada disintegrasi.
Kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana warga keturunan
Tionghoa dapat memahami undang-undang ini bersama-sama dengan warga yang
lain. Jangan sampai mereka, khususnya orang Tionghoa, hanya menuntut
haknya tetapi melalaikan kewajibannya. Bagaimana dalam masyarakat, etnis
Tionghoa ini memiliki rasa senasib dan sepenanggungan, serta solidaritas
nasional. Kemudian diharapkan pula bahwa masyarakat lainnya dapat menerima
kehadiran etnis Tionghoa ini secara ikhlas sebagai sesama warga sebangsa.
Karena hanya dengan sikap yang non-diskriminatif, rasial, dan etnislah
dapat dibangun nation-building Indonesia yang memenuhi tuntutan zaman
modern ini yang memenuhi tuntutan hak asasi, rule of law, dan dasar negara
hukum.
No comments:
Post a Comment